HAI

this is blog about heaLTHY sciens... thanks to visit my blog... :]
Tampilkan postingan dengan label mutu pelayanan kebidanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mutu pelayanan kebidanan. Tampilkan semua postingan

Konsep Sosial Kebidanan

Senin, 09 Januari 2012 | aini midwife


Studi etnografi pada dua kelompok bidan tertentu di tempat kerja di dua rumah sakit pada tahun 1989 berupaya untuk membongkar identitas okupasional bidan yang telah terbangun. Harus ditekankan bahwa kita tidak membentuk sebuah model umum dalam kebidanan atau mengklaim bahwa pemahaman teoretis universal tentang makna menjadi seorang bidan dapat diterapkan pada setiap orang yang bekerja di mana pun. Hal tersebut merupakan sifat eksplorasi untuk memahami cara identitas kelompok okupasional dibangun dalam praktik sehari-hari. Studi melihat cara wanita secara nyata bertindak di situasi nyata dalam praktik kebidanan sehari-hari yang “normal” di rumah sakit. Jelas, ini bukan termasuk pengalaman universal dan beberapa bidan akan membaca buku ini dan gagal mengenali setiap familiaritas yang ada di dalam teks, tetapi, banyak pembaca lain yang situasi, bahasa, dan ruang lingkupnya sama seperti yang diuraikan di sini akan terpengaruh emosinya.
Pencarian makna sosial
Landasan argumen yang mendasari buku ini adalah uraian tentang pekeiaan seperti “bidan” tidak rnemiliki makna intrinsik tentang diri mereka sendiri. Menjadi seorang bidan adalah pengalaman budaya dan sejarah. Pengalaman ini akan berbeda dari satu budaya dengan budaya lain dan berbeda dari waktu ke waktu. Menjadi seorang bidan di Zaman Prasejarah (setelah zaman batu), atau dalam pengadilan monarki Stuart, dalam perkampungan Manchester di abad ke-19 dan dalam rumah sakit modern memberikan pengalaman berbeda yang memberikan makna berbeda. Makna sosial adalah seseorang diberi julukan seperti “bidan” oleh berbagai masyarakat dan dalarn wacana publik serta dibentuk berdasarkan kebijakan sosial. Bagaimana kita dapat “memahami” makna menjadi seorang bidan dalam dekade terakhir di abad kedua puluh? Sejarah lisan yang mencatat pengalaman hidup bidan yang bekerja di masa lalu (Leap dan Hunter, 1993) memberikan gambaran yang jelas tentang apa makna pengalaman ini bagi individu wanita, tetapi apa makna label pekerjaan “bidan” dalam masyarakat dan bagaimana makna tersebut secara konstan dikuatkan dalam praktik sehari-hari?. Ini merupakan objek penelitian kami.
Makna sosial dan pekerjaan tertentu selalu berada dalam proses, dinamis dan dapat berubah serta hanya dapat ditangkap pada waktu spesifik seperti sebuah kamera menangkap sebuah penistiwa. Identitas ini dapat secara konstan dikuatkan dan dibentuk kembali, tetapi harus selalu mempertahankan standar pemahaman agar praktisi merasa aman memiliki identitas tersebut. Cara identitas okupasional dibangun dan dikuatkan terdiri dan praktik kerja dan strategi kontrol, penggunaan bahasa dan representasi publik tentang gambaran identitas ini. Ini merupakan latihan interpretasi esensial yang melibatkan nilai dan persepsi pemantau dan orang yang dipantau.
Baru-baru ini para sosiolog menjadi sangat tertarik dengan cara profesi dokter bedah dan dokter gigi membangun makna sosial profesinya (Fox, 1992; Nettleton, 1992). Kebidanan terutama menarik bagi seorang sosiolog tidak hanya karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan gender, tetapi juga karena tempat kerja mereka berada dalam ruang lingkup pribadi wanita yang sebelumnya diselubungi dalam misteri seksual dan tabu di masyarakat.
Makna sosial kebidanan sebagai sebuah pekerjaan tidak dapat dipisahkan dari makna sosial melahirkan sehingga langkah pertama dalam studi ini adalah melihat pada perubahan konstruksi proses persalinan itu sendiri. Sangat penting, yang kami rasakan bahwa frase “proses persalinan” digunakan untuk menggambarkan aktivitas melahirkan dan organisasi kerja dalam ekonomi industri.
Perubahan tempat kelahiran dari dunia pribadi di rumah ke dunia publik di rumah sakit mencerminkan perubahan model ekonomi dari kerajinan tangan yang dilakukan secara pribadi di rumah atau dari pekerjaan agrikultural dan perusahaan kecil milik keluarga menjadi pabrik yang memproduksi barang dalam skala besar yang terjadi sejak industrialisasi kapitalis mengalami kemajuan.
Gambaran alur melahirkan di rinah sakit yang menyerupai alur produksi adalah sesuatu yang sering kali dimunculkan oleh wanita dan studi yang akan kami lakukan adalah membandingkan alur ini dengan organisasi industri tenaga kerja.
Analisis sejarah tentang perubahan peran bidan di rumah sakit sebagai manajer persalinan orang lain dengan anak sebagai objek produksi dijelaskan dalam bab pertama. Pemahaman lebih luas mengenai evolusi peran ini dapat diperoleh dengan melihat pada identitas spesifik bidan sebagai seorang wanita yang bekerja dalam ruang lingkup produksi milik wanita.
Praktik kerja di rumah sakit terjadi dalam tatanan hierarki dan hubungan interprofesional, oleh karena itu langkah kedua dalam eksplorasi adalah melihat strategi yang digunakan bidan dan kelompok profesional lain seperti dokter obstetri dan dokter umum untuk mendapatkan kontrol dalam proses persalinan. Setelah latar belakang teoretis ini diuraikan, studi akan berfungsi untuk menginterpretasi cara-cara semua tema ini tergabung dalam kehidupan dan kerja sehari-hari.
Dua unit maternitas merupakan contoh yang cukup khas dalam pemberian asuhan maternitas pada saat itu dan keduanya merupakan bagian dan Rumah Sakit Umum Daerah yang lebih besar. Pada tahun 1989, dan dalam tahun-tahun selanjutnya, 98 persen wanita melahirkan bayinya di rumah sakit NHS (OPCS, 1991).
Praktik yang umum terjadi adalah konsultasi yang dilakukan oleh wanita yang mengira baliwa dirinya hamil kepada dokter umum mereka. Dokter umum akan menuliskan surat perjanjian ke Rumah Sakit Umum Daerah untuk wanita agar hadir ke klinik yang telah dipesan. Nama pemesan ditentukan pada saat tempat tidur untuk kelahiran dipesan. Wanita mungkin akan menemui dokter umumnya kembali, tetapi yang lebih sering terjadi adalah wanita menemui dokter umumnya tersebut di klinik antenatal rumah sakit. Pada saat kunjungan pertama wanita dan kehamilannya akan dikaji dan pengaturan akan dibuat untuk “perawatan bersama”. Perawatan bersama biasanya berarti bahwa wanita akan mengunjungi dokter umumnya dan kemudian pergi ke klinik antenatal di rumah sakit secara bergantian. Kadang kala wanita akan menemui bidan di rumahnya sendiri (kunjungan dari bidan yang telah dipesan) atau di pusat bedah dokter umum atau pusat kesehatan.
Di rumah sakit, sering kali kita menemui bidan klinik antenatal dan mungkin beberapa siswa bidan. Saat wanita menghubungi rumah sakit atau baru saja tiba, sewaktu ia sudah memasuki proses persalinan, ia cenderung tidak menemui atau berbicara terlebih dahulu dengan bidan yang membantunya.
Di akhir tahun 1980-an, bidan cenderung cukup kaku terhadap “area mereka”, yi., klinik antenatal di rumah sakit, ruang persalinan rumah sakit, tugas siang hari atau tugas malam hari. Secara umum hanya bidan junior dan siswa yang relatif akan berotasi dari satu departemen ke departemen lain dan kemudian jarang sekali ke lingkungan kebidanan komunitas.
Semua bidan dalam studi ini dipekerjakan oleh Otoritas Kesehatan dan memiliki kontrak kerja dengan rumah sakit atau dengan komunitas. Semua digaji, beberapa bidan bekerja paruh waktu (15— 30 jam per minggu) dan sisanya bekerja puma waktu selama 37,5 jam per minggu. Tidak ada pegawai sementara atau staf bank dan semua diberikan seragam, mendapatkan biaya kesehatan, dan mendapat libur tiga puluh lima hari per tahun.
Tentu saja terdapat debat kontemporer mengenai “keamanan” relatif di rumah dan di rumah sakit dengan banyak penulis berpendapat bahwa kelahiran di rumah pada kenyataannya selalu lebih aman (Chamberlain, 1981; Ehrenreich dan English, 1973). Rumah sakit tidak selalu lebih higienis, Leap dan Hunter (1993:12) melaporkan bahwa banyak bidan yang bekerja di tahun 1930-an yang mengingat bahwa rumah sakit ditutup untuk gerakan “disinfeksi drastis” setelah banyak kematian maternal disebabkan oleh demam di masa nifas.
Satu penjelasan mengenai angka kematian maternal yang tampaknya lebih tinggi di rumah sakit dibandirtgkan dengan pelahiran yang dibantu bidan di rumah adalah bahwa kelahiran yang lebih bermasalah dan “abnormal” lebih cenderung dikirim ke dokter dan dimasukkan ke rumah sakit. Oleh karena itu, dapat diperdebatkan adanya pendapat yang menyatakan bahwa ruang lingkup tanggungjawab dokter dan bidan berbeda. Tanggung jawab dan keterampilan bidan meliputi kemampuan mendeteksi abnormalitas dan meminta bantuan layanan dari dokter. Definisi kelahiran normal dan abnormal kemudian menjadi prinsip penting yang membatasi praktik medis dan kebidanan.
Persepsi mulai berkembang, yaitu bahwa para wanita mulai mengadopsi harapan yang lebih tinggi dan menolak status kelahiran sebagai suatu fenomena “alamiah” dengan semua konotasi yang terdapat dalam frase ini. Indikasi yang menarik dan tren perkembangan ini dibuktikan dengan pernyataan-pernyataan dalam laporan pemerintah pada tahun 1937, yaitu:
Peningkatan sensibitas terhadap rasa nyeri dan ketidaknyamanan telah memicu munculnya pergerakan untuk menjamin pemberian pereda nyeri dalam peristiwa kelahiran kepada semua wanita dari semua kelas sosial meskipun rasa nyeri dan ketidaknyamanan sebelumnya diterima sebagai bagian dari serangkaian peristiwa yang alamiah (Ministry of Health, 1937: 117).

ini merupakan suatu pernyataan yang luar biasa karena tampaknya rnenyiratkan bahwa para wanita telah berubah dan secara fisik menjadi lebih rentan terhadap nyeri dan juga bahwa pereda rasa nyeri ini tidak tersedia secara merata untuk semua wanita dari berbagai kelas sosial. Pergerakan ini kemudian akan mengarah ke hospitalisasi.

Persalinan alamiah pereda nyeri,dan kesetaraan sosial
Sejak laporan resmi tahun 1937 (seperti yang telah dijelaskan di atas) dikemukakan, terdapat persepsi yang semakin popular mengenai rumah sakit sebagai tempat yang diinginkan untuk melahirkan. Hal yang menarik adalah munculnya penolakan terhadap “kealamiahan” kelahiran dan berhadapannya ide antara kelahiran “alami” dengan keinginan melahirkan di rumah sakit. Seorang koresponden Nursing Notes pada tahun 1936 menyesalkan tren ini:
Anda telah secara efektif menuliskan frase dalam selebaran Anda minggu lalu yang menyatakan: “Para ibu hamil menginginkan melahirkan di rumah sakit” dan secara tidak sengaja memaparkan akar penyebab tingginya angka kematian maternal. Melahirkan merupakan sebuah fungsi alamiah dan bukan sebuah penyakit, dan hanya jika kita dapat mengembalikan keyakinan ini kepada para ibu hamil maka kita dapat menurunkan angka kematian maternal sampai sama, seperti angka kematian matemal di negaranegara yang rakyatnya masih melahirkan di rumah sendiri, atau sama seperti para ibu dan kelas sosial ekonomi rendah yang persalinannya dibantu oleh bidannya sendiri (Nursing Notes, Juni 1936:87).
Tuntutan untuk peningkatan akses ke layanan rumah sakit yang dinyatakan oleh wanita, bukanlah hal baru. Pada tahun 1915, salah satu pemyataan yang terdapat pada the Women’s Cooperative Guild telah mengemukakan kebutuhan untuk memiliki “sebuah sistem State Maternity Hospital, yang ibu bekerjanya dapat membayar layanan dengan biaya yang pantas dan ia dapat beristirahat di tempat tidur, dan tinggal untuk dirawat di rumah sakit selama periode pemulihan” (Davies (ed.) 1978). Oleh karena itu, rumah sakit dapat dilihat sebagai tempat untuk membebaskan diri dari tanggung jawab dan tekanan dalam kehidupan rumah tangga.
Berbagai bahan yang dikumpulkan oleh sebuah Mass Observation (1945) yang mempelajari “masalah angka kelahiran” dan keraguan banyak wanita untuk mempunyai anak diilustrasikan oleh pernyataan berikut:
Saya tidak sanggup membayangkan jika saya harus rnelalui semua rasa sakit tersebut. Saya baru saja kehilangan saudara perempuan saya yang meninggal setelah melahirkan bayinya, dia baru berusia 26 tahun dan merupakan wanita yang baik dan sehat. Dia meninggal bersama bayinya, yang baru berusia lima minggu. Peristiwa ini sangat menakutkan bagi saya.
Sebuah surat dari kotak pos seorang dokter pada waktu itu berisi pernyataan:
Saya membaca dalarn majalah Reader’s Digest beberapa bulan yang lalu tentang kelahiran tanpa rasa nyeri yang berhasil diperkenalkan di Amerika. Kalau tidak salah berupa injeksi di tulang belakang. Mengapa hal yang seperti ini tidak dilakukan di negara ini (Inggris) dan kepada semua ibu?
Surat lain berisi komentar,
Apa yang dapat dilakukan untuk mempermudah kelahiran? Apakah ada yang sudah dilakukan? Atau apakah semua dokter dan dokter spesialis kita yang cerdas masih terus menyerukan kepada kita bahwa kelahiran merupakan sebuah fungsi yang alami?
Terdapat juga beberapa bukti bahwa banyak wanita kelas pekerja mempercayai bahwa kelahiran tanpa nyeri merupakan pengalaman yang hanya dimiliki oleh wanita kaya dan mereka tidak memiliki hak istimewa tersebut. Salah satu responden dan studi Mass Observation mengatakan:
Rumah sakit untuk orang miskin harus dibuat senyaman seperti rumah perawatan untuk orang kaya. Para orang kaya tidak merasakan ketidaknyamanan, mengapa kita harus? Mereka semestinya menyediakan lebih banyak tempat tidur saat ini. Merupakan kenyataan yang memalukan bahwa wanita miskin ini tidak mendapat pelayanan yang semestinya di berbagai tempat.
Komentar labmya:
Benar, jika Anda memiliki uang Anda dapat memperoleh obat anestesi terbaik dan segalanya. Benarkan?
Saya pikir ilmu pengetahuan harus lebih banyak berbuat untuk para pekerja/buruh.
Terdapat bukti yang menguatkan kecurigaan ini, sebuah Government Report on Maternity in Great Britain pada tahun 1948 menyatakan bahwa hanya 20% wanita yang melahirkan di rumah yang mendapatkan analgesik dibandingkan dengan 52% wanita yang melahirkan di rumah sakit dan 77% wanita yang melahirkan di klinik keperawatan pribadi. Lebih lanjut diungkapkan dalam survei yang dilakukan oleh the Royal Commission on Population dan disampaikan dalam sebuah pertemuan Eugenics Society pada tahun 1947 bahwa dan semua wanita yang melahirkan di rumah, analgesik diberikan kepada 60% wanita yang berasal dari kelas profesional dan hanya 20% kepada wanita yang berasal dari kelas pekerja manual (Nursing Notes, Februari 1947:29). Oleh karena itu, semakin besarnya akses untuk mendapat obat pereda nyeri dan berada jauh dari rumah yang bagi beberapa orang dapat membuat relaks, membuat hospitalisasi semakin menarik bagi banyak wanita, namun ini sering kali bukanlah sebuah pilihan yang realistis sampai didirikannya National Health Service (NHS).


Kita telah menyebutkan secara singkat strategi profesional yang dipakai saat ini, strategi pengontrolan medis terhadap penggunaan obat pereda nyeri dan definisi kelahiran “normal” dan “abnormal” yang menjadi semakin kompleks, dan kita akan kembali membahas hal ini di bab selanjutnya. Namun, beberapa wanita pada tahap peningkatan kebutuhan untuk hospitalisasi ini memiliki alasan pribadi untuk tidak menginginkan kelahiran di rumah sakit umum: rasa malu karena kemiskinan yang dirasakan wanita dan kelas pekerja dan stigma sosial yang dirasakan wanita dari kelas menengah. Beberapa alasan yang diberikan oleh bidan yang melakukan praktik pada saat flu dapat ditemukan lagi pada saat ini. Kemiskinan yang dialami oleh beberapa wanita kelas pekenja menyebabkan mereka ragu untuk ke rumah sakit karena “mereka tidak memiliki gaun malam” (Leap dan Hunter, 1993:141) dan beberapa dan mereka merasa takut meninggalkan suami mereka di rumah sendirian. Banyak wanita dari kelas menengah yang juga tidak mampu membayar tingginya biaya klinik perawatan pribadi dan mereka tidak dapat membayangkan diri mereka bercampur dengan orang-orang dari berbagai kelas berbeda di rumah sakit (Leap dan Hunter, 1993:141). Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa selalu terdapat serangkaian gagasan alternatif yang muncul bersamaan dengan suatu pandangan yang secara cepat menjadi pandangan dominan.
Kita berpendapat bahwa rumah sakit karena berbagai alasan, telah mengubah identitasnya sebagai tempat untuk melahirkan. Pada akhirnya kita harus menyelidiki pendapat ini secara sedikit lebih mendalam: apa harapan dan keyakinan tentang kelahiran di rumah sakit yang sudah menjadi umum pada saat ini? Dengan kata lain, apa kebiasaan yang nyata terjadi di seputar interaksi antara bidan dan ibu di ruang persalinan?

Kultur yang popular dan rumah sakit
Pengembangan pelayanan rumah sakit merupakan salah satu perubahan yang paling bermakna setelah NHS didirikan di era pasca perang. Pertumbuhan jumlah rumah sakit ini berarti bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah masuk ke rumah sakit menjadi pengalaman yang umum. Oleh karena itu, cara masyarakat secara budaya mendefinisikan rawat inap di rumah sakit juga berubah secara dramatis. Dahulu rumah sakit “diidentikkan dengan kaum miskin dan kematian” (Granshaw dan Porter, 1990:1). Namun, dengan diterapkannya status kesejahteraan dan fokus terhadap gagasan kesetaraan yang merupakan karakteristik periode pasca perang, identitas ini mengalami transformasi.
Seperti banyak aspek dalam kehidupan sosial pada zaman pasca perang, hospitalisasi dapat digambarkan sebagai suatu contoh yang menghilangkan ketidakseimbangan kelas. Melalui NHS Act pada tahun 1946 (yang diimplementasikan pada tahun 1948), kesamaan untuk memperoleh pelayanan kesehatan untuk semua individu menjadi suatu prinsip dasar dalam status kesejahteraan pascaperang, dan peristiwa kelahiran tampaknya semakin memerlukan perhatian ahli medis yang berhak diterima oleh semua wanita.

Nasionalisasi pelayanan untuk para wanita dalam proses persalinan setelah Perang Dunia Kedua merupakan puncak dari sebuah proses yang telah dimulai sejak beberapa tahun sebelum perang. Dalam periode reformasi sosial dan nasionalisasi semua fasilitas publik, pembentukan pelayanan maternitas nasional disesuaikan dengan berbagai argumen pada periode sebelum perang dan pada periode sesudah perang yang menekankan pada perencanaan yang dibuat dipusat. Kelahiran di rumah sakit dapat dilihat sebagai contoh kesetaraan dari etos yang modern pada tahun-tahun selanjutnya; ketika kelahiran di rumah dan para bidan tampaknya menjadi milik faham Victoria di masa lalu dan dikaitkan dengan kenangan tentang kemiskinan dan keterpurukan.
Cara baru kelahiran ini merefteksikan aspek lain dalam kehidupan wanita. Kehidupan sehari-hari mereka menjadi lebih “umum” dan terbuka sepanjang tahun 195-an, anak-anak pergi ke sekolah dengan tujuan untuk dapat membangun gedung-gedung, masyarakat pergi bekerja ke lapangan, pabrik, atau kantor yang memiliki jaringan dan perencanaan yang terbuka, mereka hidup dan tinggal di rumah-rumah real estate yang identik dengan rumah-rumah modem dengan model rumah memiliki jendela terbuka lebar, dan aspek ruang persalinan yang terbuka hanya merupakan perluasan dari semua kondisi yang terjadi.
Pada waktu bersamaan, representasi popular profesi medis adalah seorang tenaga keija berjas putih yang ajaib dan terpercaya. Dokter merupakan individu yang tidak dapat kritik dan memiliki otoritas yang tidak dapat dipertanyakan. Program tayangan televisi yang popular dengan banyak penggemar memperkuat pandangan tersebut. Program seperti Dr Kildare, Ben Casey, dan Emergency Ward 10 menayangkan adegan-adegan para dokter dan peristiwa-peristiwa yang sering terjadi di rumah sakit.
“Normalisasi” nunah sakit diperoleh dengan semakin menunjukkan pada masyarakat tentang bangunan rumah sakit dan nilai yang dimilikinya. Nilai tentang kebersihan, keahlian tenaga profesional dan pengawasan dibawa ke dalam dunia pribadi klien di rumah bahkan sebelum proses kelahiran yang nyata dipindahkan ke rumah sakit.
Apabila seorang wanita melahirkan bayinya di rumah, dokter dan bidan berkonsentrasi pada pembuatan sebuah rumah sakit kecil di dalam rumah tersebut. Calon ibu diperkenalkan bagaimana “mempersiapkan sebuah ruangan”, mensterilkan semua perlengkapan yang dibutuhkan dan mengadopsi teknik kebersihan seperti di rumah sakit, yang sebenarnya tidak perlu dilakukan di rumah. Setiap hari kehidupan di ruma hterganggu oleh aktivitas-aktivitas seperti ini dan sangat jelas digambarkan antara perilaku kehidupan “norma” dan perilaku yang baru dan sesuai dengan perlu dilakukan oleh orang tua yang bertanggung jawab. Walaupun kelahiran di rumah saat ini sangat sedikit, perubahan pola perilaku seperti yang dilakukan di rumah sakit sering kali terjadi selama kunjungan pascanatal. Bidan komunitas atau penilik kesehatan (health visitor) akan memeriksa perlengkapan yang dibawa untuk bayi dan menginformasikan “orang tua” (hamper selalu hanya disampaikan kepada ibu) tentang cara-cara yang benar untuk merawat bayi mereka.
Sebaliknya dalam lingkungan rumah sakit, diciptakan suasana seperti di “rumah”. Keluarga dan pasangan serta anak-anak lain dapat keluar masuk ruangan setiap waktu, foto-foto dan kartu-kartu ucapan selamat diperlihatkan. Ruangan tersebut sering kali dihiasi oleh gambar anak-anak yang ditempelkan ke dinding ruangan dan kartu ucapan “terima kasih” untuk para staf rumah sakit yang berasal dan klien sebelumnya.
Setelah tahun 1960-an, kelahiran di rumah sakit menjadi suatu hal yang biasa, ini berarti bahwa lebih banyak wanita dari kalangan kelas menengah yang berpendidikan menjadi penerima pelayanan yang berbasis sistem rumah sakit yang tidak membedakan kelas sosial atau pendidikan atau harapan dan keinginan individu tertentu. Pemberian asuhan kesehatan yang kolektif, yang mencakup pelayanan maternitas, dibangun untuk masyarakat homogen yang bersifat fleksibel, patuh, “penuh terima kasih” dan terutama untuk wanita kelas pekerja yang menjadi target penerima pelayarian mereka. Selama tahun 1960-an dan terutama pada tahun 1970-an, muncul sebuah generasi wanita yang mendapat akses untuk pendidikan lanjutan, yang lebih bebas mengungkapkan ekspresi dibandingkan generasi sebelumnya, dan yang lebih memiliki rasa percaya diri. Perubahan ini tidak boleh dilebih-lebihkan karena hanya mungkin terjadi pada kelompok minoritas, namun berkurangnya rasa penghormatan secara umum dan munculnya kemampuan wanita untuk meminta pertimbangan dengan memandang dirinya sebagai seorang individu adalah hasil yang dicapai oleh budaya yang sebelumnya tidak ada.
Reaksi yang menentang cara rumah sakit menangani kelahiran muncul pada saat ini dan berbatasan dengan pertumbuhan dan perluasan feminisme serta pengembalian ke nilai-nilai individual. Dalam era aksi dan reaksi politik yang menentang ilmu pengetahuan dalam berbagai bentuk termasuk kekuatan nuklir, medikalisasi dan teknik pengontrolan intervensi bedah dianggap sebagai ringkasan dominansi ilmu pengetahuan pria. Para wanita yang membentuk kelompok khusus (pressure group), seperti National Childbirth Trust (NCT) untuk mengampanyekan lebih banyak pilihan tempat bersalin dan perluasan kelahiran di rumah mungkin hanya disampaikan melalui ceramah oleh minoritas wanita yang berpendidikan (Reid, 1983), tetapi hanya minoritas yang semakin vokal dan efektif.
Dalam kebidanan juga, reaksi menentang hospitalisasi kelahiran ini mendapatkan dukungan. Gambaran hospitalisasi sebagai suatu langkah mundur yang esensial bagi wanita hamil dan praktik kerja bidan disuarakan di sebagian besar tinjauan sosiologi dan sejarah serta jurnal profesional. Pandangan ini dapat dirangkum oleh seorang kontributor muda pemerhati bidan pada media Midwives Information and Resource Service (MIDIRS) yang mempertanyakan, “Bagaimana kita dapat masuk ke dalam kekacauan ini di tempat yang pertama kali?” (Cronk, 1992).




Pandangan publik
Sejak dahulu, identitas bidan sebagai seorang wanita yang pekerjaannya berhubungan dengan dunia kewanitaan yang pribadi dan oleh karena itu “misterius” dalam peristiwa kelahiran selalu berhadapan dengan area budaya yang ambigu dan kontradiktif. Di satu sisi, bidan adalah seorang pekeda wanita yang terampil, memiliki pengetahuan, dan mendapat bayaran, dan secara intrinsik memiliki peran berbeda dan wanita yang melahirkan, sementara di sisi lain, dunia keijanya adalah dunia tersembunyi yang tabu, tidak melibatkan pria dan diabaikan. Dunia kerja kebidanan merupakan dunia yang dikelilingi oleh rumor dan hal-hal supernatural, di sini “wanita yang bijaksana” menempati posisi yang memililu kekuasaan dan otoritas yang terbatas.
Tentu saja, kekuasaan yang dimiliki wanita telah membuatnya rentan mendapat tuntutan atau tuduhan menggunakan ilmu sihir dari direndahkari pada abad pertengahan dan dituntut karena telah mengabaikan dan melakukan praktik yang terbelakang di abad ke sembilan belas dan awal abad ke dua puluh.
Sebelum medikalisasi dan “pria mengambil alih” kelahiran, bidan telah menempati posisi khusus di dunia asuhan kesehatan, namun posisi tersebut selalu berada di bawah posisi lain. Seperti yang dikatakan oleh Mary Chamberlain, “Kebidanan, karena berhubungan dengan kebutuhan wanita dan dilakukan oleh wanita, memiliki status yang rendah” (Chamberlain, 1981 25).
Karena rendahnya status yang terakumulasi pada semua aspek kelahiran atau sebenarnya setiap aktivitas yang dilakukan oleh wanita, kecenderungan untuk menjadikan dunia kebidanan sebagai “masa keemasan kebidanan yang telah hilang” masih sangat jauh.
Kebidanan, berdasarkan sifatnya yang sangat alamiah, memiliki tabu budaya yang sama seperti pada peristiwa kehamilan dan kelahiran. Seperti peristiwa kelahiran yang tidak popular dan tidak menjadi budaya publik, seperti itu juga gambaran kerja seorang bidan.
Sebaliknya, perawat banyak digambarkan dalam surat kabar publik, literatur, buku sejarah dan film. Selama era Victorian dan menjelang abad ke dua puluh sampai sekarang, terdapat banyak sekali gambaran romantis tentang perawat. Pada masa perang, perawat digambarkan lebih sebagai seorang “wanita suci yang menerangi” yang merawat para tentara yang terluka. Gambaran lain tentang perawat sebagai seorang “duta malaikat” telah menjadi bagian dan gambaran popular untuk menggambarkan pekeijaan seorang perawat. Yang menarik, perawat hampir selalu digambarkan bersama dengan klien anak-anak atau klien laki-laki, dan jarang digambarkan bersama dengan klien perempuan. Gambaran lain tentang seorang perawat adalah bahwa mereka seksi, muda dan agak genit, suatu gambaran yang terus berlanjut sejak dibuatnya film Punch Cartoon pada Perang Dunia Pertama sampai “Carry On” dan “Doctor in the house” pada tahun 1960-an. Bahkan sekarang, seragam perawat merupakan simbol pakaian yang menarik untuk menimbulkan gairah seksual dalam “stripper-grams” dan untuk kelas dansa.
Namun, bidan tidak dapat menyerap gambaran publilc yang seperti perawat karena pekerjaan bidan terkonsentrasi pada kelahiran yang di satu sisi merupakan aktivitas berbahaya yang sering kali menyebabkan kematian, dan di sisi lain merupakan daerah kewanitaan yang memiliki konotasi seksual tersembunyi. Jalan keluar dan kebuntuan ini adalah dengan menyajikan peristiwa kelahiran ke dalam suatu lelucon dan dengan demikian ilustrasi kartun dan foto aktivitas bidan akan menunjukkarr bahwa dirinya adalah seorang “perawat” yang memberikan seorang bayi (atau lebih sering bayi kembar dua atau kembar tiga) kepada ayah yang bangga tanpa keberadaan ibu.
Yang menarik, dalam segi bahasa juga,keberadaan kata “bidan” tidak ada. Bentuk kata yang paling umum dipakai adalah “perawat” dan dalam gambar, bidan selalu menggunakan seragam perawat. Gambaran lain tentang bidan yang juga bersifat merendahkan adalah gambaran yang diajukan oleh penulis di era Victoria seperti Dickens, yaitu bahwa bidan adalah seorang wanita tua yang kotor dan mabuk. Gambaran ini sangat kuat, dan kebidanan masih digambarkan seperti itu sampai saat ini. Gambaran inilah yang melatar belakangi permintaan profesi medis agar mereka diberi hak yang sah untuk membantu proses kelahiran dan munculnya aspirasi yang meminta status kebidanan ditetapkan sebagai status profesional yang diajukan oleh Institut Kebidanan yang baru dibentuk. Gambaran kebidanan seperti di ataslah yang harus dihilangkan agar kebidanan mendapatkan penghargaan dan masyarakat.
Baru-baru ini telah menjadi perdebatan (Bashford, 1993) bahwa gerakan sanitarian yang muncul di akhir abad ke sembilan belas dan telah mendominasi pelayanan kesehatan sampai saat ini, menghendaki agar aspek higiene dan kebersihan tidak hanya diaplikasikan pada gedung-gedung seperti rumah sakit dan rumah tinggal, tetapi juga pada diri tenaga kesehatan. Oleh karena itu, “ketidakrapihan” wanita tua yang digambarkan sebagai sesuatu yang kotor, alkoholik, dan berpengalaman secara seksual harus berubah menjadi seorang profesional baru yang bersih, bijaksana, berpendidikan dan belum menikah, walaupun tidak terlalu muda. Bagaimana pun, wanita muda yang belum menikah dan karena itu masih “suci’ tidak dianggap memiliki pengetahuan tentang seks atau kelahiran dan dengan demikian seorang bidan yang dihargai diharapkan memiliki “usia tertentu” bahkan jika ia tetap seorang perawan tua.
Organisasi yang baru terbentuk pada tahun 1947, yaitu the Royal College of Midwives juga melambangkan pendekatan profesional yang baru dan penampilan terhormat yang saat ini sedang dibangun. Sekilas biografi tentang pendiri the Royal College (Cowell dan Wainwright, 1981) memperlihatkan bahwa mereka, tanpa terkecuali, berpendidikan, pandai berbicara, elegan, dan tidak diragukan merupakan wanita dari kelas menengah atas. Mereka adalah wanita yang memiliki karakter kuat dan telah membaktikan diri ke dalam sebuah profesi dan dalam banyak cara mereka diidentikkan dengan “wanita baru” di akhir abad ke sembilan belas. Sebagian besar bidan belum menikah dan mungkin status ini dapat memberi mereka kemampuan sosial dan kebebasan untuk bernegosiasi dengan dokter pria yang berkuasa yang dapat membantu dikeluarkannya registrasi “kebidanan”. Selama tahap awal pencarian status profesional ini, sebuah cara yang dapat dilakukan bidan untuk mengendalikan jaring struktur kekuasaan pria yang kompleks adalah dengan menjadi orang yang “terhormat”! Ini sering kali diartikan sebagai penekanan terhadap berbagai bentuk manifestasi kerentanan feminitas atau pertangungjawaban terhadap suami atau anak-anak. Ini merupakan cara yang diambil oleh banyak wanita mandiri yang baru pada saat ini dalam upaya untuk membuka alur kehidupan yang baru dan bekerja di dunia publik dan mencirikan sebuah bentuk identitas feminis yang masih dipakai pada saat ini.
Banyak bidan, seperti wanita profesional lain “melepaskan” kehidupan pribadi mereka seperti menikah dan memiliki anak untuk mengejar sebuah lapangan kerja. Penekanan perasaan pribadi dan personal ini sering kali memicu kedekatan kehidupan dan hubungan kerja diantara wanita. Walkowitz (1993) menca tat pola “pernikahan perawan tua” ini yang mengindikasikan penyelesaian masalah feminis di awal abad ini. Hal yang menarik adalah pengakuan derajat. otoritas publiklah yang memberikan wanita ini pilihan dalam kehidupan pribadi mereka.
Adopsi pendekatan maskulin pada kerja dan kehidupan adalah sebuah cara yang membuat generasi wanita profesional yang baru ini merasa memiliki posisi sosial yang ambigu. Dalam pemyataan sangatjelas yang diberikan oleh seorang bidan yang bekerja di London selama Perang Dunia Kedua menyatakan:
Kemudian tentu saja ada banyak pria di tempat yang jauh dan kami suka berpikir bahwa kami memegang benteng pertahanan mereka, Anda tahu, merawat istri mereka ... (Leap dan Hunter, 1993: 126). ‘

Hubungan hospitalisasi dan keperawatan
Selama Perang Dunia Kedua, bidan telah memperoleh perhatian publik yang lebih jelas sejak kelahiran dimasukkan ke dalam pelayanan gawat darurat dan jumlah rawat map meningkat dan, akibathya terjadi penurunan angka kematian maternal. Pada tahun 1944, the Royal College of Obstetricians and Gynaecologist (RCOG) dengan bangga memproklamirkan bahwa karena perungkatan ini, kini terdapat “akomodasi maternitas dalam institusi untuk sekurang-kurangnya 50% ibu di negara ini” (RCOG, 1944:25).
Proses ini berlanjut sampai beberapa tahun pertama setelah perang dengan penciptaan layanan maternitas nasional dan penggabungan bidan ke dalam layanan rumah sakit.
Rawat inap (hospitalisasi) memiliki pengaruh menonjol pada praktik keija dan status dokter obstetri dan bidan. Status lebih rendah (subordinasi) yang teraplikasi pada area kelahiran direfleksikan ke dalam harga diri rendah yang bahkan profesi dokter obstetri yang didominasi pria dihargai di Inggris sampai setelah perang. The Royal College of Obstetricians and Gynaecologist belum terbentuk sampai tahun 1929 dan formasi ini dicapai setelah menghadapi pertentangan keras dari kelompok tradisional the Royal College of Surgeons and Physicians. Perkumpulan ini belum memperoleh status kehormatan sampai setelah Perang Dunia Kedua. Sangat jelas bahwa proses rawat inap memunculkan ruangbagi kelompok profesional dokter obstetri untuk mendapatkan kekuasaan dan status. Sebenarnya, banyak penulis berpendapat bahwa perpindahan semata-mata didorong oleh ambisi profesional kelompok ini, tetapi dilakukan dalam. wacana tentang “keamanan”, tetapi seperti yang telah kita perdebatkan, definisi tentang keamanan masih disisipi oleh berbagai kontradiksi. Namun, seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, alasan dibalik pergerakan lebih kompleks daripada sekedar pencapaian ambisi profesional suatu kelompok. Bagaimana dampaknya pada bidan dan praktik serta status mereka?
Dominasi praktik kebidanan di rumah sakit terus berlanjut sepanjang tahun setelah tahun 1948. Kondisi ini berpengaruh besar pada kedua divisi kebidanan, yaitu antar kebidanan dan antar kebidanan dengan keperawatan.
Pada periode segera setelah perang dunia kedua, layanan kebidanan di rumah terus berlanjut, seperti terlihat dengan tidak terjadinya peningkatan pesat kelahiran di rumah sakit sampai tahun 1970-an. Tetapi, walaupun pelayanan kebidanan secara resmi terbagi ke dalam dua bagian, yaitu pelayanan kebidanan lokal dan rumah sakit, keberadaan bidan “mandiri” telah menurun setelah UndangUndang tahun 1936. Bidan yang membantu kelahiran di rumah dipekerjakan oleh Local Authorities dan semakin banyak melaksanakan asuhan antenatal dan pascanatal yang tidak lagi perlu dilakukan oleh dokter umum yang baru dikontrak oleh NHS. Pola ini terus berlanjut dengan penekanan pada pelayanan antenatal yang meningkat sejak lokasi kelahiran dipindahkan dan “masyarakat” ke rumah sakit. Sebagian besar bidan berkualitas memiliki dasar praktik di rumah sakit pada tahun 1970-an dan kondisi ini ditunjukan oleh penampilan kerja bidan yang “normal”. Setelah reorganisasi NHS pada tahun 1974, penyatuan rumah sakit dan kebidanan daerah memiliki arti bahwa pekerjaan daerah berada di bawah kendali pelayanan rumah sakit sehingga mengakhiri pembagian formal antara dua bagian dalam kebidanan.
Kebidanan selalu menekankan pada identitas mandiri dari pada pemisahan formal dan keterkaitannya dengan keperawatan. Dari sejarahnya, kedua profesi ini memiliki perbedaan akademi dan organisasi namun masih dalam tatatan rumah sakit, pembagian ini tidak terlalu menonjol. Kedua profesi ini menggunakan seragam tertentu dan sama-sama disebut “perawat” oleh masyarakat dan keduanya bekerja di bawah kontrol langsung profesi medis.
Masalah pemisahan identitas secara kese1uruhan menjadi Semakin besar setelah tahun 1978 ketika, dalam mengimplementasikan Briggs Report, negara secara resmi menyetujui penggabungan bidan, perawat dan penilik kesehatan (health visitor). Pergerakan ini secara keras ditentang oleh banyak pihak, terutama pihak yang berpendapat untuk menggunakan pendekatan yang lebih radikal untuk menciptakan identitas spesifik dan praktik kerja bidan. Pada tahun 1983, kepentingan kebidanan dan keperawatan dilebur dalam pembentukan sebuah pusat badan hukum nasional, yaitu the United Kingdom Central Council for Nursing, Midwifery and Health Visiting (UKCC) dan empat badan nasional keperawatan, kebidanan, dan penilik kesehatan untuk Negara Inggris, Irlandia Utara, Skotlandia dan Wales. Dalam pergerakan mi, identitas kebidanan diaiiggap oleh banyak pihak sedang teranc,m untuk tergabung secara komplet ke dalam keperawatan. ./ V

Ide kemandirian
Konsep kemandirian seperti yang dilaksanakan pada praktik aktual dari pada pekeijaan secara utuh adalah karakteristik pembeda utama dalam kebidanan. Pandangan sekilas melalui jurnal kebidanan atau perbincangan dengan berbagai kelompok bidan akan menggambarkan seberapa besar identitas “praktisi mandiri” diterima sebagai sebuah kriteria dasar dan fundamental dalam praktik kebidanan. Setiap generasi diperkenalkan pada konsep yang ada tentang bidan sebagai seorang praktisi yang mandiri dan otonom. Karena konsep ini merupakan titik referensi yang penting bagi identitas pekerjaan, sangat penting untuk berupaya “membongkar” konsep yang sering kali dianggap benar ini.
Aplikasi ide kemandirian di tempat kerjalah yang secara ideologi memisahkan pekerjaan keperawatan dan kebidanan. Kebidanan dalam hal ini telah mengklaim memiliki derajat yang lebih tinggi di atas keperawatan. Kejengkelan dan kemarahan yang dirasakan bidan jika ia disebut sebagai perawat oleh orang yang tidak dikenal akan menjadi saksi atas klaim ini, tidak hanya perbedaan, tetapi juga superioritasnya. Dalam rangka untuk memperjelas pembagian ideologi ini, peta konseptual perlu dibuat sehingga didapat gambaran yang jelas tentang perbedaan persepsi antara kebidanan dan keperawatan. Peta tersebut adalah sebagai berikut:
Kebidanan
Praktisi yang mandiri
Berkerjasama dengan dokter
Pengelola persalinan normal
Sehat. Keperawatan
“Penolong” yang tidak mandiri
Patuh kepada dokter
Perawat untuk orang sakit
Sakit

Kekuasaan dan wewenang (otoritas) profesional
Dua konsep tentang kekuasaan dan wewenang sering kali membingungkan dalam bahasa dan gambaran sehari-hari. Tetapi, saya akan mengemukakari bahwa secara sosiologis kekuasaan dan wewenang dapat dibedakan dan sangat penting untuk memahami perbedaan sifat keduanya saat melihat penggunaan kekuasaan profesional wanita.
Max Weber memberikan definisi klasik tentang kekuasaan dan wew sebagai suatu bentuk kekuatan yang sah. Ta berpendapat bahwa kekuasaan secara sederhana bisa memiliki sifat paksaan, seperti dengan ancaman fisik atau pemerasan sosial dan emosional. Ia menulis:
Secara umum kita memahami bahwa kekuasaan memungkinkan seseorang atau sejumlah orang (penekanan saya) untuk mewujudkan keinginan mereka melalui tindakan di masyarakat bahkan jika tindakan tersebut mendapat perlawanan dari orang lain yang turut berpartisipasi dalam tindakan tersebut (Weber, dalam Gerth dan Mills, 1970:180).
Bagaimanapun wewenang berdasarkan pemberian izin yang benar dan “bebas”. Orang lain patuhbukan karena takut, tetapi karena ketulusan dan rasa hormat yang tidak perlu dipertanyakan serta penerimaan terhadap wewenang yang lebih besar. Hubungan antara profesional dan klien di masa lalu berlandaskan pada tuntutan atas otoritas yang sah. Dasar legitimasi tersebut, bagi Weber, dikarakteristikkan dalam tiga bentuk:
• hal tersebut berakar pada tradisi
• daya tarik dan pimpinan politik
• memiliki makna legal yang rasional
Bentuk terakhir tersebut merupakan dasar kekuatan profesional:
[Terdapat] dominasi akibat “legalitas”, akibat keyakinan dalam validitas undang-undang resmi dan “kemampuan” fungsional berdasarkan peraturan yang dibuat secara rasional (Gerth dan Mills, 1970:79).
Secara sederhana, masyarakat “mematuhi instruksi dokter” atau “menuruti saran profesional” karena sikap penerimaan atas wewenang mereka yang berdasarkan pada keahlian, pengalaman dan pengetahuan yang lebih besar. Dalam situasi ini dan situasi lain seperti di militer, bukan orang per individu yang memberikan klaim atas posisi tersebut, tetapi orang sebagai perwakilan dan wewenang profesional. Seseorang memiliki klaim tertentu hanya dalam satu area tertentu, jika berada di luar area maka wewenangnya akan hilang. Posisi pemegang wewenang sering kali ditandai dengan memakai pakaian tertentu, seperti wig dan gaun hakim, masker dokter bedah, jas putih dokter, yang merupakan simbol wewenang profesional tetapi bukan simbol dan wewenang pribadi.
Namun, seperti yang kita lihat profesi yang menuntut legitimasi ini menurut riwayat adalah milik pria secara eksklusif sehingga wewenang tersebut terlihat secara “alami” sebagai milik pria yang, tentu saja berakar dan tradisi seperti halnya mengklaim validitas yang sah. Hal ini mengawali serangkaian pertaiiyaan tentang wanita dan wewenang: apakah mungkin wanita melampaui identitas gen mereka dan menuntut wewenang yang sah? Atau akankan mereka selalu merasa sebagai wanita yang didahulukan dan terkemuka?
Apa yang dapat dilakukan bidan, lingkup wewenang tanggung jawab, tanggung jawab yang dapat mereka lakukan semuanya telah dinegosiasikan dengan profesi kedokteran. Pada praktik sehari-hari di rumah sakit, hambatan ini mungkin telah ditentang dalam berbagai bentuk atau bahkan ditekan, tetapi hambatan tetap ada dalam struktur yang mendefinisikan kondisi dan lingkungan kerja kebidanan. Bidan secara individu mungkin menentang penggunaan kekuasaan dokter, terutama yang berusia muda, namun keduanya mengetahui di mana garis kekuasaan dibuat.
Hubungan dengan wanita yang membentuk kelompok klien di lirigkungan rumah sakit memiliki sifat yang berbeda. Banyak yang berpendapat bahwa seluruh konsep penggunaan kekuasaan oleh bidan merupakan suatu kutukan dan bahwa kebidanan harus berkenaan dengan empati dan berkomunikasi “dengan wanita”- dan bukan berkenaan dengan hierarki wewenang. Akan tetapi, seperti yang kita lihat, dalam dunia hubungan kerja “profesional” maskulin terdapat faktor lain yang mendasari pola tingkah laku dan budaya pekerjaan. Faktor-faktor tersebut seperti pembuatan identitas terpisah bagi kebidanan, proyeksi gambaran kemandirian dan otonomi dan kebutuhan kelompok pekerja untuk mengklaim status profesional yang did asari oleh pengetahuan dan praktik, semuanya mengurangi altematif yang berbeda secara radikal.

Melengkapi kerangka
Kita mulai dengan menekankan pentingnya kerangka bagi gambaran studi etnografi tentang budaya di ruang persalinan. Kerangka ini sekarang telah lengkap. Pada dua bab ini kami telah berusaha untuk menggambarkan faktor struktural dan kultural yang telah menempatkan wanita di tempat ini pada saat ini.
Faktor struktural yang digambarkan telah berkisar dan pemeriksaan beberapa motivasi yang berada di balik pergerakan kelahiran dan lingkup pribadi di rumah ke dunia publik di rumah sakit. Kebijakan sosial yang mendorong dan mempercepat pergerakan ini berdasarkan pada serangkaian kepentingan politik yang terpusat pada persamaan pelayanan ke semua kelas sosial dan penerimaan tuntutan agar terdapat tenaga medis yang menghadiri dan mensupervisi kelahiran. Rumah sakit menjadi tempat kelahiran yang “normal” dan bukan, seperti di awal, tempat bagi kelahiran “abnormal”.
Pergerakan ini mengubah budaya tempat kelahiran itu sendiri. Dengan medikalisasi peristiwa “alami” ini, hospitalisasi kelahiran yang dulunya tidak ada kini telah dikenali publik. Dalam beberapa hal, penetapan kelahiran sebagai sesuatu yang mungkin bersifat “tidak alami” dan menempatkannya dalam orbit kedokteran dan keilmuan meningkatkan statusnya. Dari penistiwa yang dikelilingi oleh misteri dan ketakutan, kelahiran menjadi subjek bagi diskusi terbuka yang dilakukan di ruang rawat rumah sakit. Kelahiran memiliki serangkaian makna berbeda dan menjadi fokus intervensi teknis dan aplikasi ilmiah. Ini merupakan perubahan budaya seperti juga perubahan struktural dalam pengalaman kelahiran untuk generasi wanita selanjutnya.
Perubahan ini juga berpengaruh pada status kerja kebidanan yang juga ditempatkan pada susunan makna yang berbeda. Seperti Garmonikow yang menyamakan hubungan pekerjaan di rumah sakit pada zaman Victoria dengan pola otoritas keluarga dalam keluarga patriarki, kami berpendapat bahwa lebih berguna untuk menyamakan hubungan di wang persalinan dengan alur produksi di suatu perusahaan. Di sini, bidan mengelola persalinan orang lain. Tempat proses persalinan sering kali disamakan oleh wanita dengan alur produksi di pabrik, dan dalam berbagai hal ini merupakan suatu gambaran yang sangat tepat. Seperti dalam proses alur produksi, terdapat aliran konstan, penekanarinya adalah pada kecepatan dan keberhasilan pengiriman produk. Pada kasus ini, kita semua adalah pernain utama di tempat tersebut; tenaga kerja (ibu), area produksi (ruang persalinan), produk (anak), manajer alur produksi (bidan) dan terakhir wewenang dan maner tenaga kerja (konsultan). Bidan mengawasi alur produksi sehari-hari dan hanya perlu mendapat dukungan luar dari konsultan jika alur produksi mengalami anomali/ penyimpangan.
Perdebatan tentang status profesional kebidanan bukan merupakan permainan iritelektual, tetapi memiliki makna penting dalam merekonsiliasi ideologi pekerjaan dengan pengalaman kehidupan yang nyata. Praktik kebidanan di rumah sakit memenuhi fungsi semiprofesi wanita yang dibatasi dan didommnasi oleh profesi maskulin dalam kedokteran. ini merupakan pengalaman hidup bidan sehari-hari di rumah sakit. Kemandirian dan otonomi mungkin memiliki pengaruh ideologis yang kuat pada kebidanan, tetapi dalam praktik sehari-hari kemandirian dan otonomi tersebut harus didefinisikan kembali secara konstan.
Antagonisme dan konflik yang muncul dalam interaksi antara bidan dan orang lain berasal dari kontradiksi antara ideologis dan kondisi kerja yang nyata. Penggunaan kekuasaan dan otoritas merupakan area tempat munculnya konflik.
Kerangka keija struktural dan kultural mi sangat penting untuk “memahami” budaya di ruang persalinan, karena tanpa itu, seperti yang dinyatakan oleh Porter, kita hanya bisa membuat gambaran etnografi sebagai sesuatu yang tidak bermasalah dan sesuatu yang “berbicara untuk kepentingan dirinya sendiri”:
Dengan mengabaikan kemungkmnan sifat pemaksaan dalam struktur sosial, komentator berbahaya dalam memberikan izin, dengan cara diam, terhadap efek penindasannya (Porter, 1993:596).
Bidan dalam penelitian berbicara untuk diri mereka sendiri dengan kata-kata dan tindakan, tetapi harus diingat bahwa untuk “memahami” dan bukan sekedar mengomunikasikan elemen budaya ini, hal tersebut harus dibingkai dalam strukturnya.

Otonomi dan bidan
Saya berbicara dengan bidan di unit tersebut tentang “pengumuman” dan terutama pengumuman yang terbaru. Saya berbicara dengan Bidan Senior penanggung jawab tetap di ruang persalinan. Wawancara ini terutama untuk mendapatkan keterangan. Ia berkata pada saya bahwa ia selalu meithat dirinya sebagai praktisi mandiri dalam kasus kelahiran normal. Ia telah bekerja selama beberapa tahun sebagai bidan komunitas. Ia pindah ke rumah sakit dengan berbagai alasan, tetapi terutama karena “kelahiran normal telah berpindah ke rumah sakit”. Ta merasa bahwa di Rumah Sakit Maternitas Valley semua kehamilan berada di bawah pengelolaan medis dan seperti yang dikatakan Percival (1970), “normal hanya dalam retrospeksi”. Ia merasa bahwa ia tidak lagi menjadi praktisi dengan kewenangan sendiri, tetapi menjadi seorang perawat kebidanan dan “tangan kanan dokter pria” atau sebagai “perawat mesin”. Selanju(nya, ia menjelaskan bahwa ia dan bidan yang bekerja di unit tersebut berusaha untuk mendapatkan kembali sebagian tanggung jawab. Ia menjelaskan bagaimana pengumuman itu memperjelas tindakan yang harus dilakukan dalam kasus pecah ketuban secara spontan sekarang yang ditambahkan dengan frase “kecuali jika dikontraindikasikan”. Ia berkata bahwa ia bersikeras agar frase tersebut disertakan sehingga bidan membuat keputusan: “Kami menggunakan pengurnuman tersebut untuk menunjukkan bahwa kami yang berwenang. Kami berada dalam sebuah perjuangan yang akan kami menangkan, tetapi belum.” Peijuangan mengacu pada perjuangan melawan medikalisasi dan hospitalisasi kelahiran. Perjuangan lain yang sedang dilakukan adalah perjuangan bidan untuk mendapatkan kembali otonomi profesi mereka yang menurut beberapa pendapat, telah hilang saat tempat kelahiran berada di rumah sakit. Dengan demikian bidan bermaksud untuk menampilkan dirinya sebagai praktisi yang kompeten. Mereka menggunakan bahasa yang tepat, misalnya “kecuali dikontraindikasikan”, untuk menyampaikan kemampuan dan pengalaman mereka serta untuk mengendalikan situasi mereka. Pengumuman lebih dan sekedar pemberi informasi. Pengumumanjuga ada untuk menetapkan parameter kewenangan/
otoritas.

Emosional persalinan
Pam Smith (1992) menggambarkan istilah “Emosional Persalinan” sebagai “komponen pekerjaan di sektor jasa yang tidak diakui dan tidak dihargai yang dikerjakan terutama oleh wanita”. Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Profesor Arlie Hochschilcl, seorang sosiolog Amerika.
Kelahiran sangat berkaitan dengan emosi persalinan dan sering kali berupa interaksi yang terus menerus antara klien dan profesional seperti yang dijelaskan oleh Ream (1987). Urusan kelahiran adalah apa yang bisa dilakukan oleh perempuan semi-profesional pada saat, sebagaimana dijelaskan dalam Bab 2, dokter tidak ada dan sulit dijangkau, dan menyerahkan “pekerjaan perempuan” yang dianggap tidak begitu penting kepada bidan.

Tags: | 0 komentar

STRATEGI PELAYANAN KEBIDANAN KOMUNITAS

| aini midwife

bidan kominitas

STRATEGI PELAYANAN KEBIDANAN KOMUNITAS

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seorang bidan dapat saja d tempatkan dimana saja sesuai dengan tempat – tempat yang membutuhkannya. Bidan dapat di tempatkan pada pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, mendirikan Praktek sendiri, di Komunitas ( atau yang lebih di kenal Bidan desa). Oleh sebab itu seorang bidan harus dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan dan lingkungan sekitarnya.
Definisi bidan menurut International Confederation Of Midwives (ICM) yang dianut dan diadopsi oleh seluruh organisasi bidan di seluruh dunia, dan diakui oleh WHO dan Federation of International Gynecologist Obstetrition (FIGO). Definisi tersebut secara berkala di review dalam pertemuan Internasional (Kongres ICM). Definisi terakhir disusun melalui konggres ICM ke 27, pada bulan Juli tahun 2005 di Brisbane Australia ditetapkan sebagai berikut: Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.
Bidan diakui sebagai tenaga professional yang bertanggung-jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir, dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawat-daruratan.
Pelayanan kebidanan komunitas diarahkan “untuk mewujudkan keluarga yang sehat sejahtera sehingga tercipta derajat kesehatan yang optimal”. Hal ini sesuai dengan visi Indonesia Sehat 2010. Kesehatan keluarga merupakan salah satu kegiatan dari upaya kesehatan dimasyarakat yang ditujukan kepada keluarga. Penyelenggaraan kesehatan keluarga bertujuan untuk mewujudkan keluarga kecil, sehat, bahagia dan sejahtera. Didalam kesehatan keluarga, kesehatan ibu mencakup kesehatan masa pra kehamilan, kehamilan, persalinan, pasca persalinan dan masa diluar kehamilan (masa interval).
Kesehatan anak diselenggarakan untuk mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Upaya kesehatan anak dilakukan melalui peningkatan kesehatan anak dalam kandungan, masa bayi, balita, pra sekolah dan sekolah.
Peningkatan kesehatan keluarga dapat mewujudkan lingkungan keluarga yang sehat, selanjutnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Wujud dari kesehatan keluarga dan komunitas merupakan cita-cita bangsa Indonesia yang berupa kesehatan untuk semua.
Oleh sebab itu banyaknya peran bidan dalam masyarakat membuat bidan haru dapat berbicara dan mendekatkan diri pada masyarakat, serta mampu melakukan tindakan untuk dapat membantu mastarakat serta dapat di terima oleh masyarakat.

B. Permasalah
Adapun yang menjadi permasalah untuk kami dalam membuat makalah ini adalah :
1. Kurangnya pengetahuan kita tentang strategi pelayanan kebidanan di komunitas.
2. Kurang pahamnya terhadap memfaatkan fasilitas – fasilitas yang ada dalam masyarakat untuk menigkatkan kesehatan dalam masyarakat sebagai bidan komunitas.
3. Masih banyaknya masyarakat yang merasa tidak mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, dan merasa terabaikan oleh tenaga kesehatannya.

C. Tujuan Penulisan
a. Tujuan Umum
Sedangkan yang menjadi tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan V (Komunitas), dan juga untuk menyampaikan informasi yang lebih tenang strategi pelayanan kebidanan di komunitas.
b. Tujuan Khusus
1. Menulis ingin mengetahui tentang pendekatan edukatif dalam peran serta masyarakat yang dapat dilakukan oleh bidan komunitas di kominutas.
2. Mengetahui pelayanan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat yang dapat diberikan oleh bidan komunitas.
3. Mengetahui menggunakan atau memanfaatkan fasilitas dan potensi yang ada di masyarakat untuk melancarkan kegiatan komunitas yang dapat dilakukan oleh bidan komunitas di komunitas.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pendekatan Edukatif Dalam Peran Serta Masyarakat
Pelayanan kebidanan komunitas dikembangkan berawal dari pola hidup masyarakat yang tidak lepas dari faktor lingkungan, adat istiadat, ekonomi, sosial budaya dan lain – lain. Sebagian masalah komunitas merupakan hasil perilaku masyarakat sehingga perlu melibatkan masyarakat secara aktif. Keberadaan kader kesehatan dari masyarakat sangat penting untuk meningkatkan rasa percaya diri masyarakat terhadap kemampuan yang mereka miliki.
1. Definisi
a. Secara umum : Rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis, terencana dan terarah dengan partisipasi aktif individu, kelompok, masyarakat secara keseluruhan untuk memecahkan masalah yang dirasakan masyarakat dengan mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi dan budaya setempat.
b. Secara khusus : Merupakan model dari pelaksanaan organisasi dalam memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat dengan pendekatan pokok yaitu pemecahan masalah dan proses pemecahan masalah tersebut.
2. Tujuan pendekatan edukatif
a. Memecahkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang merupakan masalah kebidanan komunitas.
b. Kembangkan kemampuan masyarakat, hal ini berbeda dengan memecahkan masalah yang dihadapi atas dasar swadaya sebatas kemampuan.
3. Strategi dasar pendekatan edukatif
a. Mengembangkan provider. Perlu adanya kesamaan persepsi dan sikap mental positif terhadap pendekatan yang ditempuh serta sepakat untuk mensukseskan.
Langkah-langkah pengembangan provider :
a. Pendekatan terhadap pemuka atau pejabat masyarakat.
Bertujuan untuk mendapat dukungan, sehingga dapat menentukan kebijakan nasional atau regional. Bentuknya pertemuan perorangan, dalam kelompok kecil, pernyataan beberapa pejabat yang berpengaruh.
b. Pendekatan terhadap pelaksana dari sektor diberbagai tingkat administrasi sampai dengan tingkat desa. Tujuan yang akan dicapai adalah adanya kesepahaman, memberi dukungan dan merumuskan kebijakan serta pola pelaksanaan secara makro. Berbentuk lokakarya, seminar, raker, musyawarah.
c. Pengumpulan data oleh sektor kecamatan/desa. Merupakan pengenalan situasi dan masalah menurut pandangan petugas/provider. Macam data yang dikumpulkan meliputi data umum , data khusus dan data perilaku.
b. Pengembangan masyarakat. Pengembangan masyarakat adalah menghimpun tenaga masyarakat untuk mampu dan mau mengatasi masalahnya sendiri secara swadaya sebatas kemampuan. Dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat untuk menentukan masalah, merecanakan alternatif, melaksanakan dan menilai usaha pemecahan masalah yang dilaksanakan. Langkah– langkahnya meliputi pendekatan tingkat desa, survei mawas diri, perencanaan, pelaksanaan dan penilaian serta pemantapan dan pembinaan.
4. Yang harus dilakukan oleh Bidan Komunitas dalam masyarakat
Pendidikan adalah upaya untuk memberikan pengetahuan kepada anggota masyarakat tentang kesehatan sehingga terjadi perubahan perilaku positif yang harus meningkat terhadap kesehatan untuk kepentingan diri, keluarga dan masyarakat. Pendidikan mencangkup pendidikan formal, pelatihan dan penyuluhan.
A. Pelatihan
Pelatihan adalah pendidikan singkat yang dilakukan kepada seseorang atau lebih guna meningkatkan ketrampilan tertentu. Tujuan pelatihan adalah dihasilkannya seseorang atau sejumlah orang yang mempunyai ketrampilan tertentu.
Untuk mendukung penerapan kurikulum tersebut, didalam rencana pelatihan ditentukan tenaga pelatih, sarana dan fasilitas serta pembiayaan pelatihan.
1. Perlatihan dukun
Tujuan pelatihan dukun adalah untuk meningkatkan keterampilan dukun dalam melayani ibu hamil, bersalin, nifas dan bayi yang dilahirkan sesuai dengan persyaratan kesehatan. Kurikulum dukun mencangkup sebagai berikut :
a. Struktur dan fisiologis sistem reproduksi secara umum
b. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil
c. Pertolongan persalinan
d. Asuhan ibu nifas
e. Asuhan pada bayi baru lahir
f. Bekerja secara aseptic
g. Penyuluhan
h. Penyakit yang pada umumnya menggangu kesehatan ibu dan bayi
i. Cara merujuk pasien dan
j. Peralatan dukun
2. Pelatihan kader kesehatan desa
Kader kesehatan adalah tenaga sukarela yang melakukan kegiatan progam kesehatan desa.
a. Tujuan pelatihan : Tujuan pelatihan kader adalah agar kader mampu memahami dan mampu berperan dalam pelaksanaan progam-progam kesehatan terutama progam KB kesehatan.
b. Kriteria : Kriteria kader adalah diterima dan dipilih oleh masyarakat serta bersedia dan sanggup menjadi kader kesehatan.
c. Penyelenggara pelatihan : Penyelenggara pelatihan adalah puskesmas dengan tim pelatih yang terdiri dari :
• Pimpinan puskesmas
• Staf puskesmas (antara lain bidan)
• Petugas sector-sektor lain tingkat kecamatan yang berkaitan (BKKBN, Bangdes, pertanian, agama).
3. Kursus ibu
Upaya untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang kesehatan terutama berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, dilakukan melalui kursus ibu.
a. Tujuan : Untuk memberikan kursus ibu adalah untuk memberikan pemahaman kepada ibu tentang masalah kesehatan yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan. Secara khusus tujuan kursus ibu adalah memberi pengetahuan ibu tentang:
• Hygiene progam menuju hidup sehat
• Kesehatan ibu untuk kepentingan janin
• Jalannya persalinan
• Persiapan menyusui bayi kelak
• Keluarga berencana
b. Kebijakan
c. Materi
d. Demonstrasi
B. Penyuluhan
Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan yang berlandaskan prinsip belajar, pemberianinformasi atau nasehat yang ditujukan kepada individu, kelompok atau masyarakat tentang bagaimana hidup sehat.
Tujuan penyuluhan kesehatan adalah tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan masyarakat dalam membina, memelihara perilaku dan lingkungan sehat, serta berperan aktif dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Metode dalam penyuluhan :
1. Ceramah
2. Dialog
Alat bantu penyuluhan
1. Kartu (“Flash cart”)
2. “FLIPCHART”
C. Pembinaan Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat adalah keikutsertaan individu, keluarga dan kelompok masyarakat dalam setiap menggerakan upaya kesehatan yang juga upaya tanggung jawab kesehatan diri, keluarga dan masyarakat.
Tujuan pmbinaan peran serta masyarakat yang dilakukan olehbidan ialah terwujudnya upaya yang dilakukan oleh masyarakat secara teroganisasi untuk meningkatkan kesehatan ibu, anak dan keluarga berencana menuju keluarga sehat dan sejahtera.
Secara nasional kebijakan dan strategi dasar peningkatan peran serta masyarakat dilandasi oleh :
a. Nilai-nilai keadilan sosialdan pemerataan yang terkandung dalam dasar Negara pancasila.
b. Kesehatan adalah hak dan kewajiban setiap insanseperti yang dinyatakan dalam undang-undang No. 23 tahun 1992 tentang kesehatn.
c. Misi pembangunan kesehatan untuk mencapai “Kesehatan Bagi Semua” dan tujuan pembangunan kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan setiap penduduk untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal dan produktif.
Langkah-langkah untuk meningkatkan peran serta masyarakat dilakukan melalui penyelenggaraan forum KIM ( forum komunikasi) pelatihan edukatif. Secara garis besar, langkah mengembangkan peran serta masyarakat umum adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan penggalangan, pemimpin dan organisasi dimasyarakat melalui dialog untuk mendapatkan dukungan.
b. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengenal dan memecahkan masalah kesehatan keluarga dengan menggali dan menggerakan sumberdaya yang dimilikinya.
c. Melaksanakan kegiatan kesehatan keluarga oleh dan untuk masyarakat melalui kadernya yang terlatih.
d. Pengembangan dan pelestarian kegiatan kesehatan keluarga oleh masyarakat.

B. Pelayanan Yang Berorientasi Pada Kebutuhan Masyarakat
Proses dimana masyarakat dapat mengidentifikasi kebutuhan dan tentukan prioritas dari kebutuhan tersebut serta mengembangkan keyakinan masyarakat untuk berusaha memenuhi kebutuhan sesuai skala prioritas berdasarkan atas sumber – sumber yang ada di masyarakat sendiri maupun berasal dari luar secara gotong royong. Terdiri dari 3 aspek penting meliputi proses, masyarakat dan memfungsikan masyarakat. Terdiri dari 3 jenis pendekatan :
1. Specifict Content Approach : yaitu pendekatan perorangan atau kelompok yang merasakan masalah melalui proposal program kepada instansi yang berwenang.
Contoh : pengasapan pada kasus DBD.
2. General Content objektive approach : yaitu pendekatan dengan mengkoordinasikan berbagai upaya dalam bidang kesehatan dalam wadah tertentu.
Contoh : posyandu meliputi KIA, imunisasi, gizi, KIE dan sebagainya.
3. Proses Objective approach : yaitu pendekatan yang lebih menekankan pada proses yang dilaksanakan masyarakat sebagai pengambil prakarsa kemudian dikembangkan sendiri sesuai kemampuan. Contoh : kader.

C. Menggunakan Atau Memanfaatkan Fasilitas Dan Potensi Yang Ada Di Masyarakat
Masalah kesehatan pada umumnya disebabkan rendahnya status sosial – ekonomi yang akibatkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan memelihara diri sendiri (self care) sehingga apabila berlangsung terus akan berdampak pada status kesehatan keluarga dan masyarakat juga produktivitasnya.
1. Definisi
a. Usaha membantu manusia mengubah sikapnya terhadap masyarakat, membantu menumbuhkan kemampuan orang, berkomunikasi dan menguasai lingkungan fisiknya.
b. Pengembangna manusia yang tujuannya adalah untuk mengembangkan potensi dan kemampuan manusia mengontrol lingkungannya.
2. Langkah – langkah :
a. Ciptakan kondisi agar potensi setempat dapat dikembangkan dan dimanfaatkan.
b. Tingkatkan mutu potensi yang ada.
c. Usahakan kelangsungan kegiatan yang sudah ada.
d. Tingkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
3. Prinsip – prinsip dalam mengembangkan masyarakat.
a. Program ditentukan oleh atau bersama masyarakat.
b. Program disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.
c. Dalam pelaksanaan kegiatan harus ada bimbingan, pengarahan, dan dorongan agar dari satu kegiatan dapat dihasilkan kegiatan lainnya.
d. Petugas harus bersedia mendampingi dengan mengambil fungsi sebagai katalisator untuk mempercepat proses.
4. Bentuk - bentuk program masyarakat
a. Program intensif yaitu pengembangan masyarakat melalui koordinasi dengan dinas terkait/kerjasama lintas sektoral.
b. Program adaptif yaitu pengembangan masyarakat hanya ditugaskan pada salah satu instansi/departemen yang bersangkutan saja secara khusus untuk melaksanakan kegiatan tersebut/kerjasama lintas program.
c. Program proyek yaitu pengembangan masyarakat dalam bentuk usaha – usaha terbatas di wilayah tertentu dan program disesuaikan dengan kebutuhan wilayah tersebut.




BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kebidanan Komunitas adalah ilmu kebidanan yang memelajari tentang peran serta bidan dalam masyarakat serta bidan melihatkan fungsi dan tanggung jawabnya dalam masyarakat.
2. Bidan bertugas melakukan pendekatan edukatif kepada masyarakat dan memamfaatkan fasilitas yang tersedia dalam masyarakat.

B. Saran
Sebaiknya kita sebagai bidan memperhatikan tehadap kesehatan masyarakat dan kita menjalankan tugas dan fungsi kita dalam komunitas seta dapat memamfaatkan fasilitas yang ada dalam masyarakat untuk membantu proses penyampaian pelayanan kesehatan yang akan kita lakukan.










DAFTAR PUSTAKA

1. Meilani Niken.2009. Kebidanan Komunitas, fitramaya ; Yogyakarat
2. Depkes RI, (2006) Modul Manajemen Terpadu Balita Sakit, Direktorat Bina Kesehatan Anak, Direktorat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta.
3. http://enyretnaambarwati.blogspot.com/2010/02/strategi-pelayanan-kebidanan-di.html

Tags: | 0 komentar

ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BIDAN DI KOMUNITAS

| aini midwife

A. STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN
Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Pada tahun 1993 WHO merekomendasikan agar bidan di bekali pengetahuan dan ketrampilan penanganan kegawatdaruratan kebidanan yang relevan. Untuk itu pada tahun 1996 Depkes telah menerbitkan Permenkes No.572/PER/Menkes/VI/96 yang memberikan wewenang dan perlindungan bagi bidan dalam melaksanakan tindakan penyelamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir.
Pada pertemuan pengelola program Safe Mother Hood dari negara-negara di wilayah Asia Tenggara pada tahun 1995, disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan diupayakan agar dapat memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya WHO mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat masyarakat.
Dengan adanya standar pelayanan, masyarakat akan memiliki rasa kepercayaan yang lebih baik terhadap pelaksana pelayanan. Suatu standar akan lebih efektif apabila dapat diobservasi dan diukur, realistis, mudah dilakukan dan dibutuhkan. Pelayanan kebidanan merupakan pelayanan profesional yang menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan sehingga standar pelayanan kebidanan dapat pula digunakan untuk menentukan kompetensi yang diperlukan bidan dalam menjalankan praktek sehari-hari. Standar ini dapat juga digunakan sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun rencana pelatihan dan pengembangan kurikulum pendidikan serta dapat membantu dalam penentuan kebutuhan operasional untuk penerapannya, misalnya kebutuhan pengorganisasian, mekanisme, peralatan dan obat yang diperlukan serta ketrampilan bidan. Maka, ketika audit terhadap pelayanan kebidanan dilakukan, kekurangan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut akan ditemukan sehingga perbaikannya dapat dilakukan secara lebih spesifik.
Adapun ruang lingkup standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan sebagai berikut :
A. Standar Pelayanan Umum (2 standar)
Standar 1 : Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Standar 2 : Pencatatan dan pelaporan
B. Standar Pelayanan Antenatal (6 standar)
Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Standar 5 : Palpasi Abdominal
Standar 6 : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan
Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Standar 8 : Persiapan Persalinan
C. Standar Pertolongan Persalinan (4 standar)
Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala I
Standar 10 : Persalinan kala II yang Aman
Standar 11 : Penatalaksanaan aktif persalinan kala III
Standar 12 : Kala II dengan Gawat Janin melalui Episiotomi
D. Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
Standar 14 : Penanganan pada Dua Jam Pertama Persalinan
Standar 15 : Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas
E. Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri – Neonatal
(9 standar)
Standar 16 : Penanganan Perdarahan pada Kehamilan trimester III
Standar 17 : Penanganan Kegawatan pada Eklamsia
Standar 18 : Penanganan Kegawatan pada Partus Lama/Macet
Standar 19 : Persalinan dengan Penggunaan Vakum Ekstraktor
Standar 20 : Penanganan Retensio Plasenta
Standar 21 : Penanganan Perdarahan Postpartum Primer
Standar 22 : Penanganan Perdarahan Postpartum Sekunder
Standar 23 : Penanganan Sepsis Puerperalis
Standar 24 : Penanganan Asfiksia Neonatorum
B. KODE ETIK BIDAN
Kode etik merupakan ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal dari suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian kepada profesinya baik yang berhubungan dengan klien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendiri.
Secara umum tujuan menciptakan suatu kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, serta meningkatkan mutu profesi. Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 yang disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia X, petunjuk pelaksanaannya disahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IBI tahun 1991, kemudian disempurnakan dan disahkan dalam Kongres Nasional IBI XII pada tahun 1998.
Secara umum kode etik tersebut berisi 7 bab yang dapat dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu :
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)
a. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
b. Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
c. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
d. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai-nilai yang dianut oleh klien.
e. Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
a. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat
b. Setiap bidan berkewajiaban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/atau rujukan.
c. Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan/atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien.
3. Kewajiban bidan terhadap rekan sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)
a. Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
b. Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)
c. Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan menampilkan kepribadian yang bermartabat dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat
d. Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)
a. Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik
b. Setiap bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
c. Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air (2 butir)
a. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayananan Kesehatan Reproduksi

Tags: | 0 komentar

Pengertian “Mutu” Dalam Pelayanan Kesehatan

| aini midwife

"Mutu” adalah tingkat dimana pelayanan kesehatan pasen ditingkatkan mendekati hasil yang diharapkan dan mengurangi faktor-faktor yang tidak diinginkan (JCAHO 1993). Definisi tersebut semula melahirkan 12 faktor-faktor yang menentukan mutu pelayanan kesehatan, belakangan dikonversi menjadi dimensi ‘mutu kinerja’ (performance) yang dituangkan dengan spesifikasi seperti dibawah ini :
1. Kelayakan adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan yang dilakukan relevan terhadap kebutuhan klinis pasen dan memperoleh pengetahuan yang berhubungan dengan keadaannya.
2. Kesiapan adalah tingkat dimana kesiapan perawatan atau tindakan yang layak dapat memenuhi kebutuhan pasen sesuai keperluannya.
3. Kesinambungan adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan bagi pasen terkoordinasi dengan baik setiap saat, diantara tim kesehatan dalam organisasi .
4. Efektifitas adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan terhadap pasen dilakukan dengan benar, serta mendapat penjelasan dan pengetahuan sesuai dengan keadaannya, dalam rangka memenuhi harapan pasen.
5. Kemanjuran adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan yang diterima pasen dapat diwujudkan atau ditunjukkan untuk menyempurnakan hasil sesuai harapan pasen.
6. Efisiensi adalah ratio hasil pelayanan atau tindakan bagi pasen terhadap sumber-sumber yang dipergunakan dalam memberikan layanan bagi pasen..
7. Penghormatan dan perhatian adalah tingkat dimana pasen dilibatkan dalam pengambilan keputusan tentang perawatan dirinya. Berkaitan dengan hal tersebut perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan pasen serta harapan-harapannya dihargai.
8. Keamanan adalah tingkat dimana bahaya lingkungan perawatan diminimalisasi untuk melindungi pasen dan orang lain, termasuk petugas kesehatan.
9. Ketepatan waktu adalah tingkat dimana perawatan atau tindakan diberikan kepada pasen tepat waktu sangat penting dan bermanfaat.
Upaya pencarian terhadap hal-hal penting yang dicakup dalam definisi tentang “MUTU” telah banyak dibahas dalam literatur. Donabedian menyatakan bahwa, tidak satupun definisi dapat memenuhi persyaratan dengan tepat tentang arti “mutu”, dan untuk mengatasi hal tersebut ada tiga pengertian yang diberikan yaitu:
(1) Definisi absolutis mutu adalah pertimbangan atas kemungkinan adanya keuntungan dan kerugian terhadap kesehatan sebagai dasar tata nilai praktisi kesehatan tanpa memperhatikan biaya.
(2) Definisi individualistis berfokus pada keuntungan dan kerugian dari harapan pasen dan konsekwensi lain yang tidak diharapkan.
(3) Definisi sosial mutu meliputi beaya pelayanan, kontinum dari keuntungan atau kerugian, serta distribusi pelayanan sebagai rata nilai masyarakat secara umum.
Tantangan yang dihadapi oleh praktisi adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara nilai-¬nilai kemanusiaan, sumber-sumber teknologi, kualitas hidup, inovasi dan kenyataan ekonomi, yang memungkinkan untuk memberikan pelayanan terbaik. Hal tersebut tidak berarti menghilangkan pengertian universal dari mutu untuk memperoleh pengakuan. Ketiadaan definisi formal tentang mutu, bukan berarti pasen atau provider tidak akan dapat mengidentifikasi ketiadaan mutu itu sendiri, atau mutu yang berada dibawah standar, misalnya: makanan disajikan dingin, penusukan vena dalam kondisi normal 3-4 kali, terjadi decubitus atau infeksi post operatif, pasen jatuh, salah pemberian obat semua itu menunjukkan mutu yang rendah. Pengertian mutu kinerja diukur melalui dimensi pengukuran yang tegas yaitu standar tertulis yang jelas. Standar menentukan mutu atau kinerja dan diberikan secara langsung serta hasilnya dapat dilihat dari pelayanan tersebut. Standar adalah patokan untuk menentukan tingkat mutu. Standar merupakan pernyataan tertulis dari tata nilai peraturan-¬peraturan, kondisi dan tindakan pada pasen, staf, atau sistem yang disahkan oleh pihak berwenang
Dari Jaminan Mutu (Quality Assurance) Menuju Peningkatan Mutu (Quality Improvement)
Pengertian :
1. Jaminan mutu (QA) adalah suatu proses untuk mengevaluasi perawatan pada suasana khusus, dengan mengembangkan standar pelayanan dan menerapkan mekanisme untuk menjamin bahwa standar dapat terpenuhi (Coyne and Killien).
2. Jaminan mutu (QA) adalah suatu proses yang obyektif dan sistematis dalam memonitor dan mengevaluasi mutu dan kesiapan dalam pelayanan terhadap pasen dalam meningkatkan pelayanan, dan memecahkan masalah yang telah diidentifikasi (JCAHO). Kesiapan merujuk pada pengertian lebih luas dimana prosedur khusus, kesesuaian dalam suasana khusus dan pelayanan yang efisien, mengindikasikan kelebihan maupun kekurangannya.
Dalam kaitan diatas belakangan Lexiton (JCAHO), mendefinisikan QA dalam tiga kegiatan yang tidak terpisahkan;
a. Merencanakan suatu produk atau pelayanan dan pengendalian produknya yang tidak dapat dilepaskan dari mutu. Dalam pelayanan kesehatan, aktifitas dan program dimaksudkan menjamin atau memberi garansi terhadap mutu.
b. Pengendalian mutu: adalah suatu proses dimana kinerja aktual dinilai atau diukur, dan dibandingkan dengan tujuan, serta perbedaan atau penyimpangan ditindak lanjuti dengan menggunakan metoda statistik.
c. Peningkatan mutu: proses pencapaian snatu tingkat kinerja atau mutu barn yang lebih tinggi dari sebelunmya. Pencapaian tingkat mutu bam. adalah yang terbaik dari pads tingkat mutu sebelumnya.
3. Jaminan Mutu (QA) adalah suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sistematis, obyektif dan terpadu untuk; Menetapkan masalah dan penyebabnya berdasarkan standar yang telah ditetapkan, menetapkan upaya penyelesaian masalah dan melaksanakan sesuai kemampuan menilai pencapaian hasil dengan menggunakan indikator yang ditetapkan, menetapkan dan menyusun tindak lanjut untuk meningkatkan mutu pelayanan.
Walaupun mutu tidak selalu dapat dijamin tetapi dapat diukur. Jika bisa diukur, berarti bisa ditingkatkan dan dapat disempurnakan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi indikator kunci mutu dalam pelayanan, memonitor indikator tersebut dan mengukur mutu hasilnya. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah mengidentifikasi proses – proses kunci yang mengarah pada hasil tersebut (outcome). Dengan berfokus pada upaya peningkatan proses, tingkat mutu dari hasil yang dicapai akan meningkat. Jadi, upaya pendekatan yang dilakukan diawali dari jaminan mutu (QA), mengarah pada peningkatan mutu yang proaktif (QI). Bila ada yang berpikir “mutu dibawah standar, jangan ikut terlibar“, mentalitas seperti itu seharusnya dirubah menjadi “walaupun mutu dibawah standar, tapi masih dapat ditingkatkan”. Bila mutu diartikan seberapa baik suatu organisasi ditampilkan, usaha untuk meningkatkan mutu akan dapat diperbaiki melalui peningkatan kinerja.
Tujuan dan Manfaat QA
1. Pemahaman staf terhadap tingkat mutu pelayanan yang ingin dicapai
2. Meningkatkan efektifitas pelayanan yang diberikan.
3. Mendorong serta meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan kesehatan.
4. Melindungi pelaksana pelayanan kesehatan dari gugatan hukum.
5. Tujuan akhir adalah semakin meningkatnya mutu pelayanan
Kerangka Konseptual
Pendekatan dalam pelaksanaan evaluasi menggunakan pendekatan yang lazim dipakai yaitu: pendekatan struktur, proses dan hasil. (1) Pendekatan struktur adalah berfokus pada sistem yang dipersiapkan dalam organisasi & manajemen termasuk komitmen pimpinan dan stakeholder lainnya, prosedur & kebijakan, sarana & prasarana, fasilitas dimana pelayanan diberikan, (2) Pendekatan proses: adalah semua kegiatan dan interaksi profesional (bertumpu pada kemampuan, sikap dan ketrampilan) serta metoda dengan cara bagaimana pelayanan dilaksanakan. (3) Hasil (Output): hasil pelaksanaan kegiatan. Perlu diperjelas perbedaan istilah output dan outcome seperti yang sering didengar. Output adalah hasil yang dicapai dalam jangka pendek misalnya: tidak terjadi pleibitis setelah 3 x 24 jam pemasangan infus, sedangkan outcome adalah hasil akhir dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan jangka panjang seperti perubahan status kesehatan pasen/masyarakat. Komponen hasil sangat tergantung dari kedua komponen struktur dan proses. Para pakar menekankan fokus pada komponen “proses” adalah yang paling kritikal, karena menyangkut manusianya, seberapa besar tingkat komitment dan akontabilitas seseorang untuk melakukan kegiatannya agar dapat menghasilkan pelayanan yang bermutu tinggi.
Langkah – Langkah Penerapan QA
1. Menentukan aspek pelayanan yang akan dimonitor.
2. Mengembangkan indikator yang sesuai untuk mengukur mutu pada aspek pelayanan yang telah ditentukan
3. Mengumpulkan data untuk indikator yang terpilih dengan interval dan waktu tertentu
4. Menetapkan standar hasil yang dapat dicapai untuk setiap indikator
5. Mengenali area yang tidak dapat mencapai standar
6. Meneliti faktor yang mempunyai kontribusi terhadap berkurangnya mutu tersebut.
7. Mengembangkan dan melaksanakan perbaikan mutu dengan tepat.
8. Setelah jangka waktu tertentu, melakukan pemeriksaan ulang terhadap data pada suatu area, apakah pada area tersebut telah terjadi perbaikan.
Tugas Dalam Kelompok.
1. Peserta dibagi dalam kelompok bidan dan kelompok perawat rumah sakit atau puskesmas.
2. Tiap kelompok mengidentifikasi masing-masing 10 kegiatan dari fungsi – fungsi keperawatan/kebidanan yang kritikal, dimana dalarn pelaksanaan aktual saat ini yang dinilai bermutu tinggi dan yang tidak bermutu.
3. Setiap kegiatan yang bermutu tinggi atau yang tidak bermutu diberikan alasannya.
4. Masing- masing kelompok menyajikan hasil diskusinya.
Kesimpulan
Pelayanan yang baik adalah pelayanan berorientasi terhadap upaya peningkatan mutu untuk memenuhi harapan atau kepuasan pelanggan. Mutu sulit didefinisikan, namun esensi mutu
dan aplikasinya dalam pelayanan kesehatan dapat diukur, dimonitor dan dinilai hasilnya. Mutu dalam pelayanan kesehatan adalah kontroversial dan relatif. Oleh karena itu spesifikasi dalam dimensi mutu atau kinerja yang diterapkan dalam proses yang benar dan dikerjakan dengan baik akan dapat memberikan kepuasan pelanggan. Mutu itu dinamis, upaya peningkatan mutu tidak pernah berhenti tetapi selalu berkelanjutan sesuai dengan perkembangan iptek, tatanan nilai dan tuntutan masyarakat serta lingkungannya, agar dapat tetap eksis dalam persaingan global. Peningkatan mutu berarti peningkatan kinerja. Dapat dimulai dari jaminan mutu dan berlanjut pada peningkatan mutu untuk memperoleh kepuasan pelanggan dan kepuasan karyawan dengan mempertimbangkan efisiensi (beaya) itu sendiri. Meningkatkan kinerja berarti meningkatkan mutu pelayanan telah dimulai agar dapat eksis dalam persaingan global.

Tags: | 0 komentar

Jaminan Persalinan, Angka Kematian Ibu dan KB

Senin, 26 Desember 2011 | aini midwife

KBR68H - Indonesia menjadi salah satu negara di ASEAN yang memiliki angka kematian ibu (AKI) yang tingggi. AKI di Indonesia mencapai 228/100.000 penduduk. Tidak hanya angka kematian ibu saja yang tinggi, angka kematian bayi juga masih sangat tinggi yaitu sebanyak 35 bayi per seribu kelahiran. Angka yang tinggi ini menurut Direktur Bina Kesertaan Keluarga Berencana Dokter Wicaksono disebabkan oleh apa yang disebutnya sebagai 3T dan 4 Terlalu. “Terlambat mengenal penyakit dan terlambat mengambil keputusan. Terlambat dilarikan ke rumah sakit atau pusat pelayanan kesehatan. Terlambat ditangani. Selain itu ada 4 Terlalu yaitu terlalu muda sudah kawin. Terlalu banyak anak, terlalu tua melahirkan dan terlalu sering hamil,” jelas Wicaksono.
Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi ini salah satu pemicunya adalah kekurangan biaya yang dihadapi oleh ibu hamil. Menurut Wicaksono akibat kekurangan biaya, para ibu hamil sulit mendapatkan akses pelayanan kesehatan dan memilih menggunakan jasa tenaga non medis. “Mereka ini perlu ditolong dari struktur biaya. Disamping ada Jamkesmas, mereka dibantu biaya dengan Jaminan Persalinan ini,” tambah Wicaksono. Jaminan Persalinan diberikan kepada ibu dari keluarga miskin yang tak terbantu oleh Jaminan Kesehatan (Jamkesmas). “Ilustrasi yang paling mudah adalah ini misalnya ada 100 orang ibu melahirkan 70 orang ini sudah memiliki jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). Tiga puluh orang lagi yang tidak tertutupi oleh Jamkesmas ini maka akan di bantu pembiayaannya melalui Jaminan Persalinan ini,” jelas Wicaksono.
Jaminan Pembiayaan Sejak Hamil
Wicaksono mengatakan pada prinsipnya pemanfaatan Jaminan Persalinan ini mudah. Setiap ibu hamil yang ingin mendapatkan Jaminan Persalinan ini harus datang ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sejak ia hamil. Di Puskesmas ini selama masa kehamilan si ibu harus memeriksakan kehamilannya paling sedikit 4 kali. Tidak perlu takut, menurut Wicaksono pembiayaan Jaminan Persalinan ini sudah dimulai sejak ibu pertama kali memeriksakan kandungannya di Puskesmas. Selain itu paket Jaminan persalinan ini juga termasuk pembiayaan proses persalinan, masa nifas dan termasuk alat-alat KB yang dipilih oleh si ibu pasca melahirkan. Jaminan Persalinan ini juga membantu biaya perawatan anak bayi yang baru lahir hingga usia 28 hari. “Masyarakat yang mau ikut Jampersal silahkan datang ke Puskesmas, Polindes atau apapun pelayanan kesehatan dasar terdekat,” jelas Wicaksono.
Kemudahan Jaminan Persalinan ini menurut Wicaksono dibuktikan dengan keikutsertaan swasta dalam pelayanan kesehatan ibu melahirkan ini. “Proses persalinan normal pada dasarnya akan dibantu sepenuhnya di tingkat pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas. Kalau ditemukan kelainan maka akan dirujuk pada pelayanan kesehatan lanjutan. Swasta juga bisa selama sudah memiliki kerjasama dengan tim pengelola Jampersal, “ kata Wicaksono.
Jaminan Persalinan dan AKI
Menurut teori program Jaminan Persalinan pemerintah ini sangat mungkin membantu penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) namun praktiknya seringkali tidaklah semudah dan seindah rencana.  Peneliti YLKI Ida Marlinda  menyampai kekhawatiran praktik Jaminan Persalinan akan mengalami masalah yang mirip dengan Jaminan Kesehatan (Jamkesmas) lalu. “Terkadang masyarakat kita memiliki kesulitan biaya untuk pergi ke pusat pelayanan kesehatan. Belum lagi tingkat kepercayaan yang masih rendah dari masyarakat pada pelayanan kesehatan ini. Surat miskin masih sulit untuk dibuat dan terkadang masih salah alamat,” ungkap Ida Marlinda.
Salah satu hal yang dipertanyakan dalam pemberian Jaminan Persalinan ini adalah mutu pelayanan kesehatan. Menjawab hal ini Wicaksono mengatakan bahwa dalam program jaminan persalinan memang dikenal pemakaian alat-alat kesehatan dengan sistem perlu tidak perlu sesuai level pelayanan. Artinya di tingkat pelayanan dasar beberapa alat tidak digunakan mengingat harganya yang mahal. “ Di Puskesmas standar saja tidak ada USG. Setelah merasakan sakit baru nanti dirujuk ke rumah sakit, di sana baru ada USG,” jelas Wicaksono.
Jaminan Persalinan Versus KB


Jaminan Persalinan ini di satu sisi memberikan angin segara bagi perkembangan penduduk di Indonesia. Namun disisi lain jaminan persalinan ini dikhawatirkan akan mendukung adanya ledakan penduduk. Wicaksono mengatakan sampai saat ini Jaminan Persalinan memang tidak membatasi jumlah anak yang dilahirkan namun di masa mendatang Jaminan Persalinan hanya akan diberikan untuk anak pertama dan kedua.
Tingginya angka pertumbuhan penduduk di Indonesia menurut Wicaksono seharusnya bisa diminimalkan melalui program KB. Menurut dia masyarakat harus diberikan pendidikan mendalam mengenai KB. Ida Marlinda mengatakan tingginya jumlah penduduk dan angka kelahiran bayi ini bukan disebabkan oleh masyarakat tidak mengenal KB namun lebih  karena masalah ekonomi. “Masyarakat miskin ini bukannya tidak tahu tapi lebih mereka tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Alat-alat KB dulu gratis lalu tiba-tiba mereka harus bayar. Jadi mereka tidak tahu lagi harus bagaimana,” kata Ida Marlinda.
Kehadiran Jaminan Persalinan diharapkan bisa menjawab masalah ini. Wicaksono mengatakan Jaminan Persalinan juga memberikan pelayanan kontrasepsi setelah melahirkan. “Pelayanan alat kontrasepsi ini langsung diberikan pada ibu setelah melhirkan. Tapi bukan hanya ibunya saja, kontrasepsi juga diberikan pada ayah,” kata Wicaksono. Namun pada dasarnya pemberian kontrasepsi ini tidak bersifat pemaksaan. Pemberian kontrasepsi ini didasarkan pada pilihan pasangan suami istri itu.
Ida Marlinda setuju bila masyarakat miskin butuh diberikan pendidikan mengenai kontrasepsi. “Berikan mereka kesempatan untuk berkonsultasi agar mereka yakin pada pilihan yang akan diambil. Biar mereka merasa nyaman dan aman,” tambah Ida. Masyarakat miskin juga punya hak dalam menentukan masa depan reproduksi mereka sendiri.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan BKKBN.

Tags: | 0 komentar

Bidan di Jombang Tolak Program Jaminan Persalinan

| aini midwife

KBR68H, Jombang – Sekitar 600-an anggota Ikatan Bidan Indonesia, IBI Jombang menolak Program Kementerian Kesehatan, Jaminan Persalinan atau Jampersal. Ketua Ikatan Bidan Indonesia Jombang Sabrina Dwi, mengatakan, penolakan itu karena minimnya anggaran yang dikucurkan Pemerintah, yakni 3,5 miliar rupiah. Dengan rincian, tiap ibu melahirkan memperoleh 350 ribu rupiah. Karena itu, Ikatan Bidan Indonesia Kombang meminta Pemerintah meninjau ulang kebijakan besaran anggaran tersebut.

"Itu memang ada usnur social, tetapi kalau itu disemuakan baik untuk yang kaya, yang sedang yang miskin, itu ya kurang tepat. Sebetulnya temen-temen bidan itu tidak keberatan, tetapi karena moral orang Indonesia ini seakan luntur, sehingga orang yang kaya merasa miskin. Kalau untuk orang miskin sich kita nggak masalah, Jadi mohon ditinjau kembali, jadi nanti untuk aplikasinya disesuaikan dengan situasi kondisi dan anggaran yang ada karena itu sulit."

Hingga saat ini program persalinan gratis di Jombang belum juga teralisasi. Padahal program tersebut sudah diluncurkan Kementerian Kesehatan pada Maret lalu. DPRD Jombang menyatakan, terlambatnya realisasi program Jampersal itu karena terkendala kucuran dana. Dewan berjanji, akan segera melakukan klarifkasi dengan Dinas Kesehatan setempat, terkait kucuran anggaran yang bersumber dari APBN itu.

Tags: | 0 komentar

Kebijakan Jaminan Persalinan Nasional dalam Rangka Menurunkan Angka Kematian Ibu di Indonesia

| aini midwife

Salah satu indicator kesehatan dan kesejahteraan suatu rakyat di suatu Negara dapat dilihat dari angka kematian ibu (AKI) di Negara tersebut. Dalam pencapaian Millenium Development Goal (MDG) juga terdapat goal untuk menurunkan angka kematian ibu menjadi 102/100.000 kelahiran hidup yang harus dicapai oleh semua Negara pada tahun 2015. Untuk Indonesia sendiri, walaupun angka kematian ibu sudah menurun dibanding beberapa dekade lalu, pencapaian angka tersebut ditahun 2015 dirasa masih sangat mustahil karena angka kematian ibu di Indonesia masih terbilang tinggi, yaitu 228/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Direktorat kesehatan dan gizi masyarakat Bappenas, mengemukakan beberapa penyebab tingginya AKI di Indonesia antara lain kurangnya pelayanan Antenatal yag dilakukan oleh ibu seperti, pemeriksaan kehamilan, persiapan persalinan, informasi tanda bahaya, imunisasi, pencegahan unwanted pregnancy, ketersediaan darah, Persalinan oleh tenaga kesehatan yang hanya dilakukan sebesar 72,3% dari total kelahiran, Tempat Persalinan yang dilakukan sebesar 60% di rumah, serta jumlah Dukun 2 x lipat jumlah bidan, menangani 31,5% persalinan (kgm.bappenas.go.id, 2010)
Dengan tenggat waktu yang semakin dekat serta berbagai macam penyebab AKI yang tinggi, Pemerintah pun membuat program-program untuk mempercepat penurunan AKI di Indonesia. Pada tahun 2011 ini, salah satu program percepatan tersebut ialah Jaminan Persalinan Nasional.
Jaminan Persalinan Nasional (Jampersal) merupakan program pembiayaan persalinan yang dikeluarkan oleh Kementrian Kesehatan. Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Persalinan Kementrian Kesehatan Usman Sumantri menerangkan bahwa Jampersal merupakan program pembiayaan persalinan yang bisa digunakan untuk ibu hamil dengan mendapat paket pelayanan sebesar Rp420.000. Rinciannya, pemeriksaan sebanyak 4 kali sebelum melahirkan dengan anggaran Rp40.000 , biaya persalinan Rp 350.000 dan pemeriksaan pasca persalinan Rp 30.000. 33 provinsi se-Indonesia secara serempak sudah memberlakukan program pembiayaan persalinan ini.
Saat ini, seluruh ibu hamil yang belum memiliki kartu jaminan persalinan bisa menggunakan jaminan persalinan dengan persyaratan, ibu yang belum memiliki jaminan persalinan bisa membawa identitas diri dan laporan pemeriksaan kandungan (pantograph). Namun, ibu yang memiliki jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas) tidak dibolehkan menggunakan program ini karena anggaran Jampersal merupakan bagian dari anggaran Jamkesmas yang besarnya Rp 6,3 triliun.
Jumlah puskesmas, bidan dan rumah sakit pemerintah di 500 kabupaten dan kota di Indonesia yang terdaftar dalam program ini berjumlah sebanyak 1020 unit. Jampersal dilakukan secara serempak se-Indonesia, namun biaya yang diberikan ke Dinas Kesehatan setempat secara bertahap. Ibu hamil yang menggunakan jampersal bisa melakukan pemeriksaan di bidan, puskesmas maupun rumah sakit. Nantinya, untuk rawat inap di rumah sakit akan diberikan di kelas 3. Biaya persalinan normal maupun caesar akan ditanggung Jampersal. Kemenkes telah memprediksi 20% proses persalinan akan mengalami resiko. Oleh karena itu,  biaya yang dianggarkan untuk persalinan caesar di rumah sakit sebesar Rp 2,8 juta.
Dana jampersal yang berasal dari APBN kemenkes 2011 sebesar Rp1,2 triliun itu, telah diserahkan ke setiap Dinkes untuk diberikan ke rumah sakit, bidan maupun puskesmas di daerah. Dari anggaran Rp 1,2 triliun dicairkan sebesar 30%, kemudian akan disalurkan kembali jika dana tersebut sudah habis. Jampersal diberikan untuk mengurangi angka kematian ibu dan anak. Setelah melahirkan, ibu tersebut akan diberikan program Keluarga Berencana yang bekerjasama dengan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) (nasional.kontan.co.id, 2011).
Kebijakan ini, walaupun dinyatakan sudah berjalan sejak Februari 2011, ternyata masih terdapat RSUD serta Bidan Desa di daerah yang belum mengetahui adanya penerapan program Jampersal. Selain itu, masyarakat yang tidak memilki akses transportasi yang mudah terhadap pelayanan kesehatan terlihat belum terselesaikan karena biaya Jampersal hanya mencakup pemeriksaan kehamilan, persalinan, hingga pasca persalinan di instansi yang sudah ditunjuk, dan belum mempertimbangkan keterjangkauan masayarakat terhadap pelayanan kesehatan, mengingat sampai tahun 2010, 60% dari ibu masih melahirkan di rumah.
Kebijakan Jampersal merupakan salah satu solusi yang sekiranya mampu mempercepat penurunan angka kematian ibu di Indonesia. Namun, untuk mencapai angka 102/100.000 kelahiran hidup di tahun 2015, dapatkah program ini memberikan andil yang besar?

  • Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat. 2010. “Rancang Bangun Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu untuk Mencapai Sasaran Millenium Development Goals”. kgm.bappenas.go.id/document/datadokumen/24_DataDokumen.pdf (diunduh pada Minggu, 27 Maret 2011 pukul 09.47)
  • “Program jaminan persalinan sudah dilakukan serempak di 33 provinsi” http://nasional.kontan.co.id/v2/read/nasional/61049/Program-jaminan-persalinan-sudah-dilakukan-serempak-di-33-provinsi (diunduh pada Minggu, 27 Maret 2011 pukul 09.45)m

Tags: | 0 komentar