ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI BIDAN DI KOMUNITAS
Senin, 09 Januari 2012 | aini midwife
A. STANDAR PELAYANAN KEBIDANAN
Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Pada tahun 1993 WHO merekomendasikan agar bidan di bekali pengetahuan dan ketrampilan penanganan kegawatdaruratan kebidanan yang relevan. Untuk itu pada tahun 1996 Depkes telah menerbitkan Permenkes No.572/PER/Menkes/VI/96 yang memberikan wewenang dan perlindungan bagi bidan dalam melaksanakan tindakan penyelamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir.
Pada pertemuan pengelola program Safe Mother Hood dari negara-negara di wilayah Asia Tenggara pada tahun 1995, disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan diupayakan agar dapat memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya WHO mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat masyarakat.
Dengan adanya standar pelayanan, masyarakat akan memiliki rasa kepercayaan yang lebih baik terhadap pelaksana pelayanan. Suatu standar akan lebih efektif apabila dapat diobservasi dan diukur, realistis, mudah dilakukan dan dibutuhkan. Pelayanan kebidanan merupakan pelayanan profesional yang menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan sehingga standar pelayanan kebidanan dapat pula digunakan untuk menentukan kompetensi yang diperlukan bidan dalam menjalankan praktek sehari-hari. Standar ini dapat juga digunakan sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun rencana pelatihan dan pengembangan kurikulum pendidikan serta dapat membantu dalam penentuan kebutuhan operasional untuk penerapannya, misalnya kebutuhan pengorganisasian, mekanisme, peralatan dan obat yang diperlukan serta ketrampilan bidan. Maka, ketika audit terhadap pelayanan kebidanan dilakukan, kekurangan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut akan ditemukan sehingga perbaikannya dapat dilakukan secara lebih spesifik.
Adapun ruang lingkup standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan sebagai berikut :
A. Standar Pelayanan Umum (2 standar)
Standar 1 : Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Standar 2 : Pencatatan dan pelaporan
B. Standar Pelayanan Antenatal (6 standar)
Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Standar 5 : Palpasi Abdominal
Standar 6 : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan
Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Standar 8 : Persiapan Persalinan
C. Standar Pertolongan Persalinan (4 standar)
Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala I
Standar 10 : Persalinan kala II yang Aman
Standar 11 : Penatalaksanaan aktif persalinan kala III
Standar 12 : Kala II dengan Gawat Janin melalui Episiotomi
D. Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
Standar 14 : Penanganan pada Dua Jam Pertama Persalinan
Standar 15 : Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas
E. Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri – Neonatal
(9 standar)
Standar 16 : Penanganan Perdarahan pada Kehamilan trimester III
Standar 17 : Penanganan Kegawatan pada Eklamsia
Standar 18 : Penanganan Kegawatan pada Partus Lama/Macet
Standar 19 : Persalinan dengan Penggunaan Vakum Ekstraktor
Standar 20 : Penanganan Retensio Plasenta
Standar 21 : Penanganan Perdarahan Postpartum Primer
Standar 22 : Penanganan Perdarahan Postpartum Sekunder
Standar 23 : Penanganan Sepsis Puerperalis
Standar 24 : Penanganan Asfiksia Neonatorum
B. KODE ETIK BIDANKeberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya, salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap ibu yang membutuhkannya. Pada tahun 1993 WHO merekomendasikan agar bidan di bekali pengetahuan dan ketrampilan penanganan kegawatdaruratan kebidanan yang relevan. Untuk itu pada tahun 1996 Depkes telah menerbitkan Permenkes No.572/PER/Menkes/VI/96 yang memberikan wewenang dan perlindungan bagi bidan dalam melaksanakan tindakan penyelamatan jiwa ibu dan bayi baru lahir.
Pada pertemuan pengelola program Safe Mother Hood dari negara-negara di wilayah Asia Tenggara pada tahun 1995, disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan diupayakan agar dapat memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya WHO mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat masyarakat.
Dengan adanya standar pelayanan, masyarakat akan memiliki rasa kepercayaan yang lebih baik terhadap pelaksana pelayanan. Suatu standar akan lebih efektif apabila dapat diobservasi dan diukur, realistis, mudah dilakukan dan dibutuhkan. Pelayanan kebidanan merupakan pelayanan profesional yang menjadi bagian integral dari pelayanan kesehatan sehingga standar pelayanan kebidanan dapat pula digunakan untuk menentukan kompetensi yang diperlukan bidan dalam menjalankan praktek sehari-hari. Standar ini dapat juga digunakan sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun rencana pelatihan dan pengembangan kurikulum pendidikan serta dapat membantu dalam penentuan kebutuhan operasional untuk penerapannya, misalnya kebutuhan pengorganisasian, mekanisme, peralatan dan obat yang diperlukan serta ketrampilan bidan. Maka, ketika audit terhadap pelayanan kebidanan dilakukan, kekurangan yang berkaitan dengan hal-hal tersebut akan ditemukan sehingga perbaikannya dapat dilakukan secara lebih spesifik.
Adapun ruang lingkup standar pelayanan kebidanan meliputi 24 standar yang dikelompokkan sebagai berikut :
A. Standar Pelayanan Umum (2 standar)
Standar 1 : Persiapan untuk Kehidupan Keluarga Sehat
Standar 2 : Pencatatan dan pelaporan
B. Standar Pelayanan Antenatal (6 standar)
Standar 3 : Identifikasi Ibu Hamil
Standar 4 : Pemeriksaan dan Pemantauan Antenatal
Standar 5 : Palpasi Abdominal
Standar 6 : Pengelolaan Anemia pada Kehamilan
Standar 7 : Pengelolaan Dini Hipertensi pada Kehamilan
Standar 8 : Persiapan Persalinan
C. Standar Pertolongan Persalinan (4 standar)
Standar 9 : Asuhan Persalinan Kala I
Standar 10 : Persalinan kala II yang Aman
Standar 11 : Penatalaksanaan aktif persalinan kala III
Standar 12 : Kala II dengan Gawat Janin melalui Episiotomi
D. Standar Pelayanan Nifas (3 standar)
Standar 13 : Perawatan Bayi Baru Lahir
Standar 14 : Penanganan pada Dua Jam Pertama Persalinan
Standar 15 : Pelayanan bagi Ibu dan Bayi pada Masa Nifas
E. Standar Penanganan Kegawatdaruratan Obstetri – Neonatal
(9 standar)
Standar 16 : Penanganan Perdarahan pada Kehamilan trimester III
Standar 17 : Penanganan Kegawatan pada Eklamsia
Standar 18 : Penanganan Kegawatan pada Partus Lama/Macet
Standar 19 : Persalinan dengan Penggunaan Vakum Ekstraktor
Standar 20 : Penanganan Retensio Plasenta
Standar 21 : Penanganan Perdarahan Postpartum Primer
Standar 22 : Penanganan Perdarahan Postpartum Sekunder
Standar 23 : Penanganan Sepsis Puerperalis
Standar 24 : Penanganan Asfiksia Neonatorum
Kode etik merupakan ciri profesi yang bersumber dari nilai-nilai internal dan eksternal dari suatu disiplin ilmu dan merupakan pernyataan komprehensif suatu profesi yang memberikan tuntunan bagi anggota dalam melaksanakan pengabdian kepada profesinya baik yang berhubungan dengan klien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendiri.
Secara umum tujuan menciptakan suatu kode etik adalah untuk menjunjung tinggi martabat dan citra profesi, menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota, serta meningkatkan mutu profesi. Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 yang disahkan dalam Kongres Nasional Ikatan Bidan Indonesia X, petunjuk pelaksanaannya disahkan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IBI tahun 1991, kemudian disempurnakan dan disahkan dalam Kongres Nasional IBI XII pada tahun 1998.
Secara umum kode etik tersebut berisi 7 bab yang dapat dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu :
1. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat (6 butir)
a. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
b. Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
c. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada peran, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
d. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai-nilai yang dianut oleh klien.
e. Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
2. Kewajiban bidan terhadap tugasnya (3 butir)
a. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat
b. Setiap bidan berkewajiaban memberikan pertolongan sesuai dengan kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan konsultasi dan/atau rujukan.
c. Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat dan/atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien.
3. Kewajiban bidan terhadap rekan sejawat dan tenaga kesehatan lainnya (2 butir)
a. Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk menciptakan suasana kerja yang serasi.
b. Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
4. Kewajiban bidan terhadap profesinya (3 butir)
c. Setiap bidan wajib menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra profesi dengan menampilkan kepribadian yang bermartabat dan memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat
d. Setiap bidan wajib senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
5. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri (2 butir)
a. Setiap bidan wajib memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan tugas profesinya dengan baik
b. Setiap bidan wajib meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
c. Setiap bidan wajib memelihara kepribadian dan penampilan diri.
6. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, nusa bangsa dan tanah air (2 butir)
a. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam pelayananan Kesehatan Reproduksi
Tags: mutu pelayanan kebidanan | 0 komentar
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar